Sabtu, 02 Juni 2012

SEJARAH PERKEMBANGAN DAKWAH DAN AMAL USAHA AL-IRSYAD AL-ISLAMIYYAH KALIMANTAN SELATAN


A. Pendahuluan
Perkembangan Islam di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari peran dan jasa berbagai organisasi keIslaman yang bergerak di bidang dakwah maupun di bidang pendidikan, sosial, dan bidang lainnya. Bahkan, kelompok organisasi Islam ini pulalah yang ikut andil memperjuangkan dan membidani kelahiran Negara Kesatuan Republik Indonesia dan mengisinya dengan nilai-nilai kehidupan religius hingga saat ini. Salah satu dari organisasi dimaksud adalah Al-Irsyad Al-Islamiyah.
Al-Irsyad merupakan organisasi terkemuka dari masa kebangkitan (nahdah) dan dipandang yang paling reformis yang dikembangkan oleh komunitas Hadrami (orang-orang Arab dari Hadramaut), yang mengontrol sumber daya terbanyak, dan yang mempunyai pengaruh besar atas ide-ide Hadrami, sehingga sampai pada tahun 1942, Al-Irsyad telah mengelola sistem sekolah dan pendidikan Arab hampir di seluruh Nusantara (Natalie, 2007:68).
Al-Irsyad Al-Islamiyyah berdiri pada 6 September 1914 (15 Syawal 1332 H). Tanggal tersebut mengacu pada pendirian Madrasah Al-Irsyad yang pertama di Jakarta dengan nama Jamiyyah al-Islah wa al-Irsyad al-Arabiyyah (Arab Association for Reform and Guidance), walaupun pengakuan hukumnya sendiri baru dikeluarkan pemerintah kolonial Belanda pada 11 Agustus 1915.
Di masa awal pendiriannya, ada dua program besar yang menjadi prioritas Al-Irsyad. Program ini, sebagaimana dikemukakan Natalie Mobini (2007:75) disebutkan dalam konstitusi yang diadopsi oleh Al-Irsyad di tahun 1915 yang menyatakan bahwa tujuannya untuk mengumpulkan dan menggalang dana serta menggunakannya untuk hal-hal sebagai berikut:
1. untuk menyebarluaskan budaya Arab yang sesuai dengan agama Islam, mengajarkan pada masyarakat Arab membaca dan menulis, memajukan Bahasa Arab, Belanda, dan bahasa-bahasa lain yang penting;
2. untuk mendirikan bangunan dan hal-hal lain demi mendapatkan keuntungan dan sekaligus terpenuhinya tujuan yang disebutkan di atas, misalnya tempat pertemuan anggota, sekolah, dan hal-hal lain yang memajukan umum dan sesuai dengan tujuan organisasi, dengan ketentuan bahwa hal itu tidak menyimpang dari hokum, kebiasaan yang baik, dan ketertiban umum;
3. untuk mengembangkan sebuah perpustakaan yang mengkoleksi buku-buku yang berguna dalam mengembangkan pemikiran.
Pernyataan tujuan di atas dengan titik tekan pada bidang pendidikan menunjukkan bahwa Al-Irsyad bermaksud untuk melanjutkan pekerjaan mengembangkan sekolah modern yang sudah dimulai oleh Jamiat Khair.
Adapun tujuan yang kedua dari Al-Irsyad adalah mereformasi praktik (ritual) umat Islam sebagaimana yang tercantum dalam pernyataan selanjutnya mengenai prinsip pokok Al-Irsyad dan telah diterbitkan oleh Pimpinan Pusat Al-Irsyad pada tahun 1938, untuk selanjutnya, prinsip pokok ini dijabarkan menjadi Sembilan mabadi Al-Irsyad sebagai dasar sikap Irsyadiyin (anggota atau pengurus Al-Irsyad).
Tokoh sentral pendiri Al-Irsyad adalah Syekh Ahmad Surkati Al-Anshori, seorang ulama besar Mekkah yang berasal dari Sudan. Surkati dikenal sebagai pelopor reformasi Islam dan pelopor gerakan pembaharu di Indonesia serta pembawa paham Syekh Muhammad Abduh (Mesir) ke Indonesia. Program reformis Muhammad Abduh merupakan gerakan pemurnian Islam (terutama di Mesir) dari pengaruh-pengaruh dan praktik-praktik yang merusak, pembaharuan pendidikan tinggi Muslim, pembaharuan dokrin Islam yang dipandang dari pemikiran modern, dan pembelaan Islam (Azyumardi Azra, 1989:116).
Pada mulanya Surkati datang ke Indonesia atas permintaan perkumpulan Jamiat Khair yang berdiri pada 1905 dan mayoritas anggota dan pengurusnya terdiri dari orang-orang Indonesia keturunan Arab golongan sayyid (alawiyin). Surkati tiba di Indonesia bersama dua kawannya, yakni Syekh Muhammad Tayyib al-Maghribi dan Syekh Muhammad bin Abdul Hamid al-Sudani. Di Indonesia, Surkati giat melaksanakan pembaharuan dan menyebarkan ide-ide baru dalam lingkungan masyarakat Islam Indonesia. Surkati diangkat sebagai penilik sekolah-sekolah yang dibuka oleh Jamiat Khair, baik yang dibangun di Jakarta maupun di Bogor.
Berkat kepemimpinan dan bimbingan Surkati, dalam waktu satu singkat, sekolah-sekolah tersebut maju pesat. Namun Surkati hanya bertahan tiga tahun di Jamiat Khair karena perbedaan paham yang cukup prinsipil dengan para pengurus Jamiat Khair. Di antara penyebabnya, walaupun Jamiat Khair tergolong organisasi yang memiliki cara dan fasilitas modern, namun pandangan keagamaannya, khususnya yang menyangkut persamaan derajat, belum terserap baik. Ini nampak setelah para pemuka Jamiat Khair dengan kerasnya menentang fatwa Surkati tentang kafaah (persamaan derajat). Sehingga, karena tak disukai lagi, Surkati akhirnya memutuskan mundur dari Jamiat Khair, pada 6 September 1914 (15 Syawal 1332 H) dan di hari itu juga Surkati bersama beberapa sahabatnya mendirikan Madrasah Al-Irsyad, serta organisasi untuk menaunginya yang dinamakan dengan Jamiyyah al-Islah wal-Irsyad al-Arabiyah, yang kemudian berganti nama menjadi Jamiyyah al-Islah wal-Irsyad al-Islamiyyah.
Umumnya anggota organisasi Al-Irsyad terdiri dari orang Indonesia keturunan Arab (yang berasal dari Hadrami atau Hadramaut), karena itu ada yang menyebutnya sebagai organisasi orang-orang Arab, walaupun anggapan ini tidak seluruhnya benar, sebab mengacu kepada AD/ART, Al-Irsyad adalah organisasi Islam Nasional. Syarat keanggotaannya, seperti tercantum dalam Anggaran Dasar Al-Irsyad adalah: Warga negara Republik Indonesia yang beragama Islam yang sudah dewasa. Jadi tidak benar anggapan bahwa Al-Irsyad merupakan organisasi warga keturunan Arab.
Al-Irsyad di masa-masa awal kelahirannya dikenal sebagai kelompok pembaharu Islam di Nusantara, bersama Muhammadiyah dan Persatuan Islam (Persis). Tiga tokoh utama organisasi ini; Surkati, K.H.Ahmad Dahlan, dan Ahmad Hassan (A. Hassan), sering disebut sebagai Trio Pembaharu Islam Indonesia. Mereka bertiga juga berkawan akrab. Malah menurut A. Hassan, sebetulnya dirinya dan Ahmad Dahlan adalah murid dari Syekh Ahmad Surkati, meski tak terikat jadwal pelajaran resmi.
Namun demikian, menurut sejarawan Belanda G.F. Pijper (1984) yang benar-benar merupakan gerakan pembaharuan dalam pemikiran dan ada persamaannya dengan gerakan reformisme di Mesir adalah Gerakan Pembaharuan Al-Irsyad. Sedang Muhammadiyah, kata Pijper, sebetulnya timbul sebagai reaksi terhadap politik pemerintah Hindia Belanda pada waktu itu yang berusaha untuk mengKristenkan orang-orang Indonesia.
Muhammadiyah lebih banyak peranannya pada pembangunan lembaga-lembaga pendidikan. Sedang Al-Irsyad, begitu lahir seketika terlibat dengan berbagai masalah diniyah. Al-Irsyad kemudian telah menempatkannya sebagai pendobrak, hingga pembinaan organisasi agak tersendat. Al-Irsyad juga terlibat dalam permasalahan di kalangan keturunan Arab, hingga sampai dewasa ini ada salah paham bahwa Al-Irsyad merupakan organisasi para keturunan Arab.
Al-Irsyad juga berperan penting sebagai pemrakarsa Muktamar Islam I di Cirebon pada 1922, bersama Syarekat Islam (SI) dan Muhammadiyah. Sejak itu pula, Surkati bersahabat dekat dengan H. Agus Salim dan H.O.S Tjokroaminoto. Al-Irsyad juga aktif dalam pembentukan MIAI (Majlis Islam Alaa Indonesia) di zaman pendudukan Jepang, Badan Kongres Muslimin Indonesia (BKMI), dan lain-lain, sampai juga pada Masyumi, Badan Kontak Organisasi Islam (BKOI), dan Amal Muslimin. Bahkan, pada Muktamar Islam di Cirebon inilah Al-Irsyad yang waktu itu diwakili oleh Surkati, Umar Sulaiman Naji, dan Abdullah Badjerei, menyatakan dengan tegas bahwa Indonesia bisa merdeka hanya dengan Islamisme, bukan paham yang lain. Peristiwa ini sekaligus membuktikan bahwa para pemimpin Al-Irsyad pada tahun 1922 sudah berbicara masalah nasionalisme dan kemerdekaan Indonesia!
Seperti yang diajarkan Syekh Muhammad Abduh di Mesir, Al-Irsyad mementingkan pelajaran Bahasa Arab sebagai alat utama untuk memahami Islam dari sumber-sumber pokoknya. Dalam sekolah-sekolah Al-Irsyad dikembangkan jalan pikiran anak-anak didik dengan menekankan pengertian dan daya kritik. Tekanan pendidikan diletakkan pada pelajaran tauhid, fikih, dan sejarah.
Sejak didirikannya, Al-Irsyad Al-Islamiyyah yang bertujuan memurnikan tauhid, ibadah, dan amaliyah Islam melancarkan berbagai program di bidang pendidikan dan dakwah, dengan fokus pengembangan pada lima bidang utama, yakni bidang pendidikan, bidang organisasi, bidang dakwah dan penerangan, bidang usaha ekonomi, serta bidang kesejahteraan sosial dan budaya. Untuk merealisir tujuan ini, Al-Irsyad sudah mendirikan ratusan sekolah formal dan lembaga pendidikan non-formal di seluruh Indonesia. Dalam perkembangannya kemudian, kegiatan Al-Irsyad juga merambah bidang kesehatan, dengan mendirikan beberapa rumah sakit; yang terbesar saat ini adalah RS Al-Irsyad di Surabaya dan RS Siti Khadijah di Pekalongan. Sedangkan di bidang dakwah dan penerangan, usaha dan pengembangan yang dilakukan Al-Irsyad antaranya adalah: membina anggota dan masyarakat menjadi khaira ummah dengan mengefektifkan peran mubaligh; melakukan pengkaderan ulama melalui pendidikan tinggi baik di dalam maupun di luar negeri; penyelenggaraan dan pengembangan majelis taklim sebagai majelis ilmu dan dakwah; intensifikasi dakwah di daerah-daerah terpencil yang rawan karena masalah tekanan ekonomi dan keterbelakangan pendidikan; menghidupkan media massa (media tertulis) dengan misi dakwah sebagai sarana komunikasi dan penyuluh umat. Berdasarkan data yang ada, menurut K.H. Abdullah Mubarak al-Jaidi (Ketua Umum Al-Irsyad Periode 2007-2012), organisasi yang dipimpinnya saat ini telah memiliki 134 cabang seluruh Indonesia, 23 wilayah propinsi, 250 sekolah, 5 pesantren mandiri, ada sejumlah rumah sakit, dan dalam waktu dekat juga akan dibangun Sekolah Tinggi Dakwah Al-Irsyad (Koran Republika, 2011).
Kemudian sebagaimana organisasi keagamaan yang lain, dalam perkembangannya Al-Irsyad telah membuka cabang dan berdiri dibeberapa daerah di Indonesia, termasuk di Kalimantan Selatan. Secara singkat, kepengurusan (dinamakan dengan Pimpinan Wilayah) Al-Irsyad di Kalimantan Selatan mulai dibentuk pada tahun 1989 melalui kegiatan Musyawarah Wilayah Al-Irsyad I untuk masa bakti 1989-1991, di mana pada masa ini Pimpinan Wilayah Al-Irsyad diketuai oleh H. Salim Thalib (bekas pemilik Hotel Maramin dan sekarang telah diubah namanya menjadi Hotel Mentari Banjarmasin) dengan sekretaris Drs. Muhammad Yusuf HB. Musyawarah tingkat wilayah ini kemudian juga diikuti oleh Musyawarah Cabang Al-Irsyad Kota Banjarmasin pada tahun yang sama dan berhasil mengukuhkan kepengurusan Pimpinan Cabang (PC) Al-Irsyad Kota Banjarmasin periode 1989-1991 yang waktu itu diketuai oleh H. Idrus Machdan (Pemilik Perusahan Jamu Rumput Fatimah). Adapun markas atau sekretariat PW dan PC Al-Irsyad pada waktu itu beralamat di Jl. Antasan Kecil Barat RT 26 No. 113 Banjarmasin (Kode Pos 70115). Pembentukan pengurus Al-Irsyad diberbagai cabang di Kalimantan Selatan diikuti lagi oleh cabang-cabang Al-Irsyad di kota lain, seperti Kabupaten Banjar (Martapura), Kabupaten Barito Kuala, dan lain-lain.
Dalam perjalanannya di Kalimantan Selatan, seiring dengan perjalanan waktu dan silih bergantinya kepengurusan, Al-Irsyad telah melaksanakan dan berupaya untuk mewujudkan visi-misi organisasi dalam rangka mengembangkan dan memberikan sumbangsih terhadap pembangunan bangsa. Beberapa institusi pendidikan sebagai sumbangsih nyata Al-Irsyad telah berhasil dibangun dibeberapa tempat, seperti di Banjarmasin, Batola, dan Martapura, penerbitan beberapa referensi keIslaman, distribusi Alquran, pengkaderan, pelatihan, dan lain-lain (Laporan Kepengurusan,
Dalam konteks di atas, untuk pengkaderan kepengurusan dan konsolidasi organisasi, pada 20-22 September 1992, Al-Irsyad telah melaksanakan Latihan Dasar Kepemimpinan (LDK) dan Up Grading Kepengurusan Al-Irsyad Cabang Kota Banjarmasin dalam rangka mencari dan mengkader anggota serta pengurus Al-Irsyad sehingga terjadi regenerasi dan penyegaran kepengurusan. Kemudian, pada 18-20 Nopember 1994 dilaksanakan pula Pelatihan Manajemen Dakwah Islam (PMDI) Al-Irsyad se Kalimantan Selatan dalam rangka membekali anggota dan pengurus Al-Irsyad melakukan manajemen aktivitas dakwah dan manajemen keorganisasian yang waktu itu dipusatkan di PP. Al-Hidayah Teluk Dalam Banjarmasin.[1]
Tapi sungguh disayangkan, pada perkembangan terakhir organisasi dengan peran panjang dan besar itu tengah digoyang badai. Perbedaan pendapat di antara Pimpinan Pusat dalam tubuh gerakan pelopor kebangkitan ini telah mengakibatkan terpecahnya pengelolaan organisasi menjadi dua kelompok kepemimpinan pada tahun 1998, yakni organisasi Al-Irsyad Al-Islamiyah (pimpinan K.H. Abdullah Mubarak al-Jaidi dan Mohammad Noer) sebagai organisasi semula dan Perhimpunan Al-Irsyad sebagai organisasi tandingan yang dideklarasikan oleh Ir. H. Farouk Badjabir dan Masdun Pranoto pada tahun 2007. Imbas dualisme kepemimpinan[2] dan perpecahan di tubuh Al-Irsyad tersebut dirasakan pula oleh kepengurusan dan eksistensi Al-Irsyad di daerah (Kalimantan Selatan), seperti masalah pengkaderan dan kepengurusan organisasi yang terlihat seperti vakum, sehingga laju roda manajemen organisasi menjadi tersendat.
Di samping masalah internal keorganisasian, Al-Irsyad juga menghadapi berbagai tuduhan miring dari pihak-pihak tertentu, misalnya ada yang mensinyalir bahwa organisasi ini telah menerima dan mendapat bantuan dari dari pihak-pihak tertentu yang berkepentingan terhadap penyebaran faham Wahabi di Indonesia; Al-Irsyad dianggap pro dan sepaham dengan gerakan-gerakan untuk menjadikan Indonesia sebagai Negara Islam; Al-Irsyad ditengarai mendukung gerakan-gerakan garis keras atau radikal dan lain-lain.
Melihat berbagai permasalahan di atas, menarik untuk mengkaji kembali sejarah perkembangan dakwah dan amal usaha Al-Irsyad, khususnya di Kalimantan Selatan dengan fokus kajian pada sejarah perkembangan keorganisasian, aktivitas dakwah dan sumbangan, serta manajemen organisasi kedakwahan.


B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, maka masalah utama yang dikaji dalam penelitian ini adalah berkenaan dengan sejarah perkembangan dakwah dan amal usaha Al-Irsyad Al-Islamiyyah, khususnya di Kalimantan Selatan sebagai bagian penting dari pengkajian dan pengembangan bidang kajian Sejarah Dakwah dan Manajemen Dakwah.
Penelitian terhadap permasalahan ini dilaksanakan dengan berpijak pada hasil penelitian dan pernyataan dari banyak penulis, seperti Mariah (1981), A Baiti al-Badru (1991), G.F. Pijper (1984), Deliar Noer (1985), Hussein Badjerei (1996), Natalie Mobini Kesheh (2007), dan lain-lain yang pada intinya sepakat dan menyimpulkan bahwa Al-Irsyad adalah salah satu organisasi yang mempelopori gerakan pembaharuan Islam di Indonesia di samping Muhammadiyah dan Persis; mempelopori gerakan kebangkitan Nasional dan kemerdekaan Indonesia; membangun, mencerdaskan, dan mengkader umat melalui lembaga pendidikan yang didirikannya; serta mengembangkan amal usaha di bidang dakwah maupun pendidikan sebagai bidang utama garapannya.
Fokus dari penelitian di atas, kemudian dijabarkan dalam rumusan masalah berikut:
1. Bagaimana sejarah pembentukan dan perkembangan organisasi dakwah Al-Irysad Al-Islamiyah Kalimantan Selatan?
2. Apa saja amal usaha dakwah yang telah dilakukan oleh Al-Irsyad Al-Islamiyyah Kalimantan Selatan?
3. Apa saja hambatan yang dirasakan oleh Al-Irsyad Al-Islamiyyah dalam mengembangkan manajemen keorganisasian dan dakwah Islam di Kalimantan Selatan?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan utama dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui, menggali, dan mendeskripsikan sejarah perkembangan dakwah dan amal usaha Al-Irsyad Al-Islamiyyah, khususnya di Kalimantan Selatan. Dengan kata lain, tujuan dari penelitian ini adalah untuk menjawab permasalahan yang telah dirumuskan, yakni untuk mengetahui dan mendeskripsikan:
1. Sejarah pembentukan dan perkembangan organisasi dakwah Al-Irysad Al-Islamiyah di Kalimantan Selatan;
2. Kegiatan, aktivitas, dan amal usaha dakwah yang telah dilakukan oleh Al-Irsyad Al-Islamiyyah di Kalimantan Selatan;
3. Hambatan-hambatan yang dirasakan oleh Al-Irsyad Al-Islamiyyah dalam mengembangkan manajemen keorganisasian dan melaksanakan program dakwah Islam di Kalimantan Selatan?
D. Signifikansi Penelitian
Penelitian ini diharapkan memberi manfaat dan sumbangsih secara keilmuan maupun secara praktis. Secara keilmuan diharapkan memberikan sumbangan terhadap perkembangan dan kajian-kajian penting berkenaan dengan Sejarah Dakwah dan Manajemen Dakwah dengan fokus kajian pada organisasi dakwah Al-Irsyad Al-Islamiyyah. Kemudian secara prkatis penelitian ini diharapkan memberikan sumbangan pokok-pokok dan gagasan pemikiran pengembangan usaha dakwah di Kalimantan Selatan secara organisasi dan manajemen atau pengelolaan organisasi kedakwahan model Al-Irsyad Al-Islamiyyah.
E. Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian berkenaan dengan dengan sejarah perkembangan dakwah dan amal usaha Al-Irsyad Al-Islamiyyah, khususnya di Kalimantan Selatan yang dirancang dan dijalankan ini merupakan bagian penting dari bidang pengkajian dan pengembangan terhadap Sejarah Dakwah dan Manajemen Dakwah khususnya.
Sejarah Dakwah yang merupakan kajian terhadap peristiwa masa lampau umat Islam dalam upaya mereka menyeru, memanggil, dan mengajak umat manusia kepada Islam serta reaksi atau respon dari umat yang diseru dan perubahan-perubahan yang terjadi setelah dakwah disampaikan, baik secara langsung maupun tidak langsung merupakan bagian penting dari pengembangan dakwah. Wardi Bachtiar (1997:36) menyatakan bahwa sejarah dakwah adalah salah satu bagian penting dari wilayah penelitian Ilmu Dakwah, karena proses dakwah yang panjang dan karakteristik masing-masing periode maupun peristiwa sejarah dakwah akan memberikan gambaran bagaimana terjadinya suatu peristiwa sebagai dasar untuk pengembangan ilmu dakwah ke depan. Karena itu, ruang lingkup penelitian Sejarah Dakwah berhubungan dengan aktivitas umat Islam baik secara perorangan atau individual (fardhiyah) maupun secara berkelompok atau berorganisasi (jamaah) sebagaimana yang disinggung dalam QS. Ali Imran 104, 110, dan QS. al-Nahl 125[3] dalam rangka memenuhi perintah Allah Swt untuk menyebarluaskan Islam, membina masyarakat, melakukan transformasi sosial budaya, memelihara agama, dan mempertahankannya dari serang-serangan musuh Islam. Sejarah Islam meliputi pula deskripsi perjuangan umat Islam menegakkan agama dalam rentang masa tertentu (Wahyu Ilaihi dan Harjani Hefni, 2007:3-4).
Dengan kata lain, sebagaimana dijelaskan Abu Suhud (2011), ruang lingkup dari kajian tentang Sejarah Dakwah pada prinsipnya meliputi hal-hal yang berhubungan dengan pertumbuhan dakwah (awal mula kegiatan dakwah Islam) secara kronologis sampai akhir kegiatan dakwah dan dakwah kawasan, yakni mempelajari pertumbuhan dakwah di suatu daerah tertentu atau pada masa tokoh (dai), kelompok, atau komunitas tertentu, salah satunya di antaranya adalah kajian tentang sejarah dari organisasi dakwah.
Sedangkan untuk Manajemen Dakwah, ruang lingkup yang menjadi fokus kajiannya adalah isu-isu manajemen dakwah, kelembagaan Islam, unsur-unsur manajemen dakwah, fungsi-fungsi manajemen dakwah, sejarah manajemen dakwah, pemikiran tokoh manajemen dakwah, rekonstruksi manajemen dakwah, perspektif Alquran dan Sunnah, manajemen dakwah dan kajian lintas disiplin.
Berdasarkan ruang lingkup di atas, jelas apabila penelitian tentang organisasi Al-Irsyad merupakan salah satu bidang garapan atau kajian dari Sejarah Dakwah, terutama pada bagian sejarah, aktivitas, dan perkembangan dakwah pada suatu masa atau kawasan tertentu dan juga bagian dari bidang garapan Manajemen Dakwah, terutama berkenaan dengan kelembagaan, keorganisasian Islam, atau pengorganisasi dakwah (al-Tanzhim), agar dakwah dapat dilaksanakan secara lebih baik, rapi, teratur, dan sistematis (Munir dan Wahyu Ilaihi, 2006:107).
F. Review Kajian
Beberapa kajian penting tentang organisasi Al-Irsyad telah banyak ditulis dan dilakukan oleh berbagai kalangan; mahasiswa, peneliti, dan akademisi perguruan tinggi. Penelitian dan tulisan-tulisan dimaksud antara lain adalah:
1. Mariah, Gerakan Pembaharuan Islam di Indonesia, Khususnya Al-Irsyad, skripsi sarjana pada Fakultas Sastra Universitas Indonesia, Jakarta, 1981. Dalam penelitiannya ini, penulis mengemukakan beberapa fakta penting keterlibatan Al-Irsyad sebagai organisasi yang mempelopori gerakan pembaharuan di Indonesia.
2. A Baiti al-Badru, Suatu Tinjauan Al-Irsyad sebagai Gerakan Pembaharuan Islam di Indonesia (1914-1943). Penelitian berupa skripsi untuk mencapai gelar sarjana di Jurusan Dakwah Fakultas Ushuluddin IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 1991 ini mengungkap beberapa aspek penting sejarah perkembangan Al-Irsyad sebagai sebuah organisasi pembaharu sebagaimana halnya Muhammadiyah dan Persis, dan bahkan Al-Irsyad kemudian ikut bergerak mempelopori gerakan kebangkitan nasional dan kemerdekaan Indonesia melalui lontaran gagasan-gagasan pemikiran para pendiri, pengurus, dan tokoh-tokohnya. Dalam sejarah awal perkembangannya, Al-Irsyad tidak hanya terlibat dalam masalah politik dan kenegaraan, akan tetapi juga membangun dan mengkader umat melalui lembaga pendidikan yang didirikannya serta mengembangkan amal usaha di bidang dakwah, yang hingga sekarang menjadi salah satu bidang utama garapannya.
3. G.F. Pijper (penulis Belanda) dalam bukunya berjudul Beberapa Studi tentang Sejarah Islam di Indonesia 1900-1950 terbitan UI Press Jakarta 1984 menjelaskan kedudukan organisasi Al-Irsyad dalam sejarah gerakan kemerdekaan dan nasionalisme Indonesia. Dalam bukunya tersebut, Pijper juga mengungkapkan latar belakang dan hubungan Al-Irsyad dengan Muhammadiyah sebagai dua organisasi yang dianggap sepaham dalam hal pembaharuan pemikiran Islam di Indonesia, terutama hubungan di antara pendiri keduanya, yakni Syekh Ahmad Surkati (pendiri Al-Irsyad) dan K.H. Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah).
4. Deliar Noer dalam bukunya berjudul Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, terbitan LP3ES, Jakarta, 1985, pada bagian Asal Usul dan pertumbuhan gerakan Modern Islam: gerakan Pendidikan dan Sosial (Masyarakat Arab) secara khusus menguraikan beberapa hal penting berkenaan dengan sejarah dan perkembangan Al-Irsyad di masa-masa awal pembentukannya (halaman 64-80), mulai dari organisasi Jamiat Khair hingga kemudian berkembang menjadi Al-Irsyad. Dalam pembahasannya, Deliar Noer menyinggung tentang peran Al-Irsyad sebagai organisasi pembaharu di Indonesia yang digerakkan oleh orang-orang keturunan Arab, sebagaimana halnya dengan gerakan pembaharuan yang dilakukan oleh Muhammadiyah dan Persis.
5. Tulisan yang cukup lengkap menjelaskan berbagai aspek perjuangan Al-Irsyad, sejarah pembentukan organisasi dan perkembangannya hingga tahun 1996 adalah buku berjudul Al-Irsyad Mengisi Sejarah Bangsa, terbitan Presto Prima Utama, Jakarta, 1996, yang ditulis oleh Hussein Badjerei.
6. Kajian terbaru tentang aktivitas orang-orang Arab yang tergabung dalam organisasi Al-Irsyad dan sering disebut sebagai organisasi komunitas orang-orang Hadrami ditulis oleh Natalie Mobini Kesheh berjudul Hadrami Awakening: Kebangkitan Hadhrami di Indonesia, dengan judul asli The Hadrami Awakening Community and Identity in The Netherlands East Indies 1900-1942, penerbit Akbar Media Eka Sarana, Jakarta, 2007 yang secara khusus mengetengahkan asal usul, aktivitas dan kepeloporan orang-orang keturunan Arab Hadramaut di Indonesia yang tergabung dalam perkumpulan atau organisasi Al-Irsyad. Dengan kata lain dalam buku ini dijelaskan potret dinamika sosial, ekonomi, politik, budaya, Islam, dan pendidikan di kalangan keturunan Arab di Indonesia serta implikasi dari dinamika periode 1900-1942 tersebut terhadap periode berikutnya ketika Indonesia memasuki jaman kemerdekaan dan pembangunan.
7. Tidak lengkap apabila kajian tentang orang-orang Arab di Indonesia serta organisasi Al-Irsyad yang notabene anggotanya kebanyakan orang-orang Arab keturunan apabila tidak memakai referensi buku berjudul Orang Arab di Indonesia yang ditulis oleh L.W.C van den Berg, karena dalam buku ini dijelaskan beberapa hal penting terkait dengan sejarah, awal kedatangan, paham, kegiatan orang-orang Arab di Indonesia. Semula, buku ini diterbitkan oleh Indonesian Netherland Islamic Studies (INIS), Jakarta, kemudian diterbitkan ulang oleh penerbit Komunitas Bambu (Kobam), Depok, 2010.
8. Kemudian yang tak boleh pula dilupakan adalah buku berjudul Sejarah Masuknya Islam di Timur Jauh tulisan Al-Habib Alwi bin Thahir al-Haddad, diterbitkan Penerbit Lentera, Jakarta, 2001 yang mengupas tentang sejarah dakwah dan masuknya Islam ke Indonesia yang dibawa oleh para juru dakwah langsung dari Arab. Aktivitas mereka dalam menyebarkan Islam di Indonesia terwujud melalui berbagai metode, media, strategi, dan pendekatan; melalui perdagangan, melalui perkawinan, melalui pusat pemerintahan/kekuasaan, hubungan yang baik, institusi pendidikan, pengajaran, komunitas tarekat, dan sebagainya. Buku ini menguatkan teori yang menyatakan bahwa Islam masuk ke Indonesia langsung dibawa oleh para juru dakwah dari Mekkah (Teori Mekkah), sebagaimana digagas oleh sejarahwan Islam Indonesia, seperti A. Hasjmi, Hamka, dan lain-lain.
Tulisan dan kajian dari semua penulis di atas pada prinsipnya berhubungan erat dengan sumbangsih dan aktivitas keturunan orang-orang Arab dalam rangkan dakwah islam di Indonesia serta menyiratkan argumentasi yang kuat bahwa Al-Irsyad dalam sejarah gerakan kebangkitan bangsa, dakwah, dan pembaharuan Islam memiliki posisi strategis, peran, dan fungsi yang sangat signifikan, sehingga layak untuk terus dikaji.
Sementara, untuk lingkup lokal (Kalimantan Selatan), tulisan dan penelitian-penelitian tentang Al-Irsyad masih sangat terbatas. Boleh jadi hal ini disebabkan karena pembentukan kepengurusan wilayah dan cabangnya yang terbilang belakangan dibanding dengan organisasi Islam serupa, yakni pada tahun 1989. Walaupun demikian, secara umum ada beberapa tulisan dari penulis dan akademisi lokal yang membahas tentang Al-Irsyad, di antaranya adalah:
1. Abdul Latif, Dakwah Islamiyah Organisasi Al-Irsyad Al-Islamiyah di Kotamadya Banjarmasin, 1994. Skripsi yang diajukan pada Fakultas Dakwah IAIN Antasari Banjarmasin ini berisikan hasil penelitian tentang aktivitas dakwah dan perkembangan organisasi Al-Irsyad Cabang (Pimpinan Cabang) Kota Banjarmasin di masa-masa awal pembentukan dan konsolidasi kepengurusan, paling tidak dari tahun 1989-1994.
2. Tulisan yang lumayan baru dan ditulis oleh akademisi lokal, H. Ahmad Sarkati (dosen Fakultas Tarbiyah IAIN Antasari Banjarmasin), berjudul Konsep Pendidikan Menurut Surkati: Sebuah Upaya Rekonstruksi Pendidikan Islam dan dimuat dalam Jurnal Khazanah IAIN Antasari Banjarmasin Volume IV, Nomor 04, Juli-Agustus 2005 (halaman 432-453) walaupun tidak secara khusus membahas dan mengkaji Al-Irsyad namun fokus tulisannya yang memotret beberapa gagasan penting tentang pendidikan dari pendiri Al-Irsyad, yakni Syekh Ahmad Surkati dirasakan memiliki keterkaitan dan menambah referensi kajian-kajian serupa berkenaan dengan Al-Irsyad. Dalam tulisannya ini, H. Ahmad Sarkati menyimpulkan bahwa Syekh Ahmad Surkati sangat menekankan tujuan pendidikan untuk mencetak para guru yang berkualitas, baik intelektual maupun moral agama, karena guru merupakan ujung tombak dari keberhasilan pendidikan.
Berdasarkan hasil penelitian dan beberapa tulisan di atas, khususnya kajian dan penulisan tentang sejarah perkembangan Al-Irsyad serta amal usaha dakwah yang dilakukannya di Kalimantan selatan belum ada dan belum terungkap secara jelas. Oleh itu perlu untuk dikaji dan ditelaah secara khusus melalui penelitian dalam konteks Sejarah Dakwah dan Manajemen Organisasi Dakwah sehingga mampu memberikan informasi, deskripsi, dan sumbangan pemikiran berkenaan dengan karakteristik dari salah satu perkembangan organisasi terbesar ketiga ini di Indonesia dan di Kalimantan Selatan khususnya.
G. Kajian Pustaka
1. Sejarah, Perkembangan, dan Kepengurusan Al-IrsyadAl-Islamiyyah
Perhimpunan Al-Irsyad Al-Islamiyyah berdiri pada 6 September 1914 (15 Syawwal 1332 H). Tanggal itu mengacu pada pendirian Madrasah Al-Irsyad Al-Islamiyyah yang pertama, di Jakarta. Pengakuan hukumnya sendiri baru dikeluarkan pemerintah Kolonial Belanda pada 11 Agustus 1915.
Tokoh sentral pendirian Al-Irsyad adalah Al-Alamah Syekh Ahmad Surkati Al-Anshori, seorang ulama besar Mekkah yang berasal dari Sudan (Afrika). Pada mulanya Surkati datang ke Indonesia atas permintaan perkumpulan Jamiat Khair yang mayoritas anggota pengurusnya terdiri dari orang-orang Indonesia keturunan Arab golongan sayyid, dan berdiri pada 1905. Al-Irsyad adalah organisasi Islam nasional. Syarat keanggotaannya, seperti tercantum dalam Anggaran Dasar Al-Irsyad adalah: Warga negara Republik Indonesia yang beragama Islam yang sudah dewasa. Jadi tidak benar anggapan bahwa Al-Irsyad merupakan organisasi warga keturunan Arab.
Al-Irsyad mempunyai sifat khusus, yaitu organisasi yang berakidah Islamiyyah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, di bidang pendidikan, pengajaran, serta sosial dan dakwah bertingkat nasional (Pasal 1, ayat 2 Anggaran Dasar).
Organisasi ini adalah organisasi mandiri yang sama sekali tidak mempunyai kaitan dengan organisasi politik apapun juga, serta tidak mengurusi masalah-masalah politik praktis (Pasal 1, ayat 3 Anggaran Dasar).
Surkati tiba di Indonesia bersama dua kawannya, yakni Syekh Muhammad Tayyib al-Maghribi dan Syekh Muhammad bin Abdul Hamid al-Sudani. Di Indonesia, Surkati menyebarkan ide-ide baru dalam lingkungan masyarakat Islam Indonesia. Surkati diangkat sebagai Penilik sekolah-sekolah yang dibuka Jamiat Khair di Jakarta dan Bogor.
Berkat kepemimpinan dan bimbingan Surkati, dalam waktu satu tahun, sekolah-sekolah itu maju pesat. Namun Surkati hanya bertahan tiga tahun di Jamiat Khair karena perbedaan paham yang cukup prinsipil dengan para penguasa Jamiat Khair, yang umumnya keturunan Arab sayyid (alawiyin).
Sekalipun Jamiat Khair tergolong organisasi yang memiliki cara dan fasilitas moderen, namun pandangan keagamaannya, khususnya yang menyangkut persamaan derajat, belum terserap baik. Ini nampak setelah para pemuka Jamiat Khair dengan kerasnya menentang fatwa Surkati tentang kafaah (persamaan derajat) yang membolehkan (jaiz) seorang perempuan syarifah kawin dengan seorang laki-laki Muslim biasa, sebagaimana halnya fatwa yang pernah dikeluarkan oleh Syekh Muhammad Rasyid Ridha.
Karena tak disukai lagi, Surkati memutuskan mundur dari Jamiat Khair, pada 6 September 1914 (15 Syawwal 1332 H) dan di hari itu juga Surkati bersama beberapa sahabatnya mendirikan Madrasah Al-Irsyad Al-Islamiyyah, serta organisasi untuk menaunginya, yakni Jamiyat al-Islah wal-Irsyad al-Arabiyah (kemudian berganti nama menjadi Jamiyat al-Islah wal-Irsyad al-Islamiyyah).
Setelah tiga tahun berdiri, Perhimpunan Al-Irsyad mulai membuka sekolah dan cabang-cabang organisasi di banyak kota di Pulau Jawa. Setiap cabang ditandai dengan berdirinya sekolah (madrasah). Cabang pertama di Tegal (Jawa Tengah) pada 1917, dimana madrasahnya dipimpin oleh murid Surkati angkatan pertama, yaitu Abdullah bin Salim al-Attas. Kemudian diikuti dengan cabang-cabang Pekalongan, Cirebon, Bumiayu, Surabaya, dan kota-kota besar lainnya.
Al-Irsyad di masa-masa awal kelahirannya dikenal sebagai kelompok pembaharu Islam di Nusantara, bersama Muhammadiyah dan Persatuan Islam (Persis). Tiga tokoh utama organisasi ini, yakni Syekh Ahmad Surkati, Ahmad Dahlan, dan Ahmad Hassan (A. Hassan), sering disebut sebagai Trio Pembaharu Islam Indonesia. Mereka bertiga juga berkawan akrab. Malah menurut A. Hassan, sebetulnya dirinya dan K.H. Ahmad Dahlan adalah murid Ahmad Surkati, meski tak terikat jadwal pelajaran resmi.
Namun demikian, menurut sejarawan Belanda G.F. Pijper, yang benar-benar merupakan gerakan pembaharuan dalam pemikiran dan ada persamaannya dengan gerakan reformisme di Mesir adalah Gerakan Pembaharuan Al-Irsyad. Sedang Muhammadiyah, kata Pijper, sebetulnya timbul sebagai reaksi terhadap politik pemerintah Hindia Belanda pada waktu itu yang berusaha untuk menasranikan orang Indonesia.
Muhammadiyah lebih banyak peranannya pada pembangunan lembaga-lembaga pendidikan. Sedang Al-Irsyad, begitu lahir seketika terlibat dengan berbagai masalah diniyah. Ofensif Al-Irsyad kemudian telah menempatkannya sebagai pendobrak, hingga pembinaan organisasi agak tersendat. Al-Irsyad juga terlibat dalam permasalahan di kalangan keturunan Arab, hingga sampai dewasa ini ada salah paham bahwa Al-Irsyad merupakan organisasi para keturunan Arab.
Al-Irsyad juga berperan penting sebagai pemrakarsa Muktamar Islam I di Cirebon pada 1922, bersama Syarekat Islam dan Muhammadiyah. Sejak itu pula, Syekh Ahmad Surkati bersahabat dekat dengan H. Agus Salim dan H.O.S. Tjokroaminoto. Al-Irsyad juga aktif dalam pembentuan MIAI (Majlis Islam Alaa Indonesia) di zaman pendudukan Jepang, Badan Kongres Muslimin Indonesia (BKMI) dan lain-lain, sampai juga pada Masyumi, Badan Kontak Organisasi Islam (BKOI) dan Amal Muslimin.
Di tengah-tengah suasana Muktamar Islam di Cirebon, diadakan perdebatan antara Al-Irsyad dan Syarekat Islam Merah, dengan tema: Dengan apa Indonesia ini bisa merdeka. Dengan Islamisme kah atau Komunisme? Al-Irsyad diwakili oleh Syekh Ahmad Surkati, Umar Sulaiman Naji dan Abdullah Badjerei, sedang SI Merah diwakili Semaun, Hasan, dan Sanusi.
Selaku penganut paham Pan Islam, tentu Surkati bertahan dengan Islamisme. Semaun berpendirian, hanya dengan komunisme-lah Indonesia bisa merdeka. Dua jam perdebatan berlangsung, namun tidak ditemukan titik temu. Walaupun demikian, Surkati ternyata menghargai positif pendirian Semaun, dan berkata: Saya suka sekali orang ini, karena keyakinannya yang kokoh dan jujur bahwa hanya dengan komunisme saja tanah airnya dapat dimerdekakan (Hussein Badjerei, 1996).
Peristiwa ini sekaligus membuktikan bahwa para pemimpin Al-Irsyad pada tahun 1922 sudah berbicara masalah kemerdekaan Indonesia!
Seperti yang diajarkan Muhammad Abduh di Mesir, Al-Irsyad mementingkan pelajaran Bahasa Arab sebagai alat utama untuk memahami Islam dri sumber-sumber pokoknya. Dalam sekolah-sekolah Al-Irsyad dikembangkan jalan pikiran anak-anak didik dengan menekankan pengertian dan daya kritik. Tekanan pendidikan diletakkan pada tauhid, fikih, dan sejarah.
Sejak didirikannya, Al-Irsyad Al-Islamiyyah bertujuan memurnikan tauhid, ibadah dan amaliyah Islam dengan program utama bergerak di bidang pendidikan dan dakwah. Untuk merealisir tujuan ini, Al-Irsyad sudah mendirikan ratusan sekolah formal dan lembaga pendidikan non-formal di seluruh Indonesia. Dalam perkembangannya kemudian, kegiatan Al-Irsyad juga merambah bidang kesehatan, dengan mendirikan beberapa rumah sakit, yang terbesar saat ini adalah RS Al-Irsyad di Surabaya dan RS Siti Khadijah di Pekalongan.
Tercatat banyak lulusan Al-Irsyad, baik dari kalangan keturunan Arab maupun non-Arab yang telah memainkan peran penting diberbagai bidang. Di antara alumni Madrasah Al-Irsyad yang terkenal dan turut berperan penting dalam modernisme Islam di Indonesia antara lain:
1) Yunus Anis, alumnus Al-Irsyad yang dikenal sebagai seorang pemimpin yang menonjol dari Gerakan Muhammadiyah. Ia mendapat kehormatan dijuluki tulang punggung Muhammadiyah karena pengabdiannya sebagai Sekretaris Jenderal di organisasi tersebut selama 25 tahun.
2) Prof. Dr. T.M. Hasby as-Shiddique, putera asli Aceh, penulis terkenal dalam masalah hadis, tafsir, dan fikih Islam modern. Guru besar di IAIN Yogyakarta ini bahkan pernah menjabat Rektor Universitas Al-Irsyad di Solo (sekarang sudah tutup)
3) Prof. Kahar Muzakkir, berasal dari Yogyakarta dan lulusan dari Madrasah Al-Irsyad, di mana kemudian Kahar Muzakkir melanjutkan studinya di Dar al-Ulum di Kairo-Mesir. Ia sangat aktif berjuang untuk kemerdekaan Indonesia dan termasuk penandatangan Piagam Jakarta 22 Juni 1945. Kemudian ia menjadi Rektor Universitas Islam Indonesia di Yogyakarta.
4) Muhammad Rasjidi, Menteri Agama Republik Indonesia yang pertama, berasal dari Yogyakarta. Ia pernah menjadi profesor di McGill University di Montreal, Kanada, dan juga mengajar di Universitas Indonesia, Jakarta. Semasa hidupnya menulis banyak buku.
5) Prof. Farid Maruf, asli Yogyakarta, profesor di IAIN, yang juga salah satu tokoh besar Muhammadiyah di awal-awal berdirinya. Lulusan Madrasah Al-Irsyad ini sempat menjabat Direktur Jenderal Urusan Haji di Departemen Agama.
6) Al-Ustadz Umar Hubeis, jabatan pertamanya adalah sebagai Direktur Madrasah Al-Irsyad Surabaya. Di waktu yang bersamaan ia aktif di MASYUMI (Majelis Syura Muslimin Indonesia). Umar Hubeis bahkan pernah menjadi anggota DPR mewakili Masyumi. Ia juga menjadi profesor di Universitas Airlangga, Surabaya. Semasa hidupnya beliau juga menulis beberapa buku, terutama fikih dan yang terkenal adalah Kitab FATAWA.
7) Said bin Abdullah bin Thalib al-Hamdani, lulusan Al-Irsyad Pekalongan ini sangat menguasai fikih dan menjadi profesor di Fakultas Syariah IAIN Yogyakarta. Ia juga menulis buku-buku fikih. Di kalangan cendekiawan dan intelektual Islam Indonesia, ia dijuluki Faqih Al-Irsyadiyin (cendekiawan terkemuka di bidang hukum Islam dari Al-Irsyad). Sayang kebanyakan bukunya ditulis dalam bahasa Arab dan belum diterjemahkan.
8) Abdurrahman Baswedan, pendiri Partai Arab Indonesia (PAI) dan aktifis MASYUMI ini pernah menjadi Wakil Menteri Penerangan RI.
Namun perkembangan Al-Irsyad yang awalnya naik pesat, kemudian menurun drastis bersamaan dengan masuknya pasukan pendudukan Jepang ke Indonesia. Apalagi setelah Surkati wafat pada 1943 dan revolusi fisik mempertahankan kemerdekaan sejak 1945; banyak sekolah Al-Irsyad hancur, diporak-porandakan Belanda karena menjadi markas laskar pejuang kemerdekaan. Sementara ada beberapa gedung milik Al-Irsyad yang dirampas Belanda, sekarang berpindah tangan, tanpa bisa diambil lagi oleh Al-Irsyad.
Sampai 1985, Al-Irsyad tinggal memiliki 14 cabang, yang seluruhnya berada di Jawa. Namun berkat kegigihan para aktivisnya yang sudah menyebar ke seluruh pelosok Nusantara, Al-Irsyad berkembang kembali, sejak 1986. Puluhan cabang baru berdiri, termasuk Kalimantan Selatan, dan sehingga kini tercatat sekitar 130 cabang, dari Pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, hingga ke Papua.
Di awal berdirinya di tahun 1914, Perhimpunan Al-Irsyad Al-Islamiyyah dipimpin oleh ketua umum Salim Awad Balweel. Dalam Muktamar terakhir di Bandung (2000), yang dibuka oleh Presiden K.H. Abdurrahman Wahid di Istana Negara pada 3 Juli 2000, terpilih Ir. H. Hisyam Thalib sebagai ketua umum baru, menggantikan H. Geys Amar SH yang telah menjabat posisi itu selama empat periode (1982-2000). Setelah era kepemimpinan Ir. H. Hisyam Thalib, Al-Irsyad mengalami perpecahan, dan sampai sekarang masih dalam proses penyatuan kembali kepemimpinan melalui konsolidasi kepengurusan seiring dengan 1 abad berdirinya organisasi ini melalui muktamar di tahun 2012.
2. Al-Irsyad Al-Islamiyah: Gerakan Reformasi Islam
Adalah Jamiat Khair, sebuah organisasi Islam tempat para ulama dan aktivis bergabung, tempat bermulanya Syekh Ahmad Surkati mengawali karir dakwahnya di Indonesia.
Ia diundang secara khusus oleh gerakan ini untuk menjadi pengajar pada berbagai badan pendidikan yang dirintisnya pada tahun 1912. Ia datang dari Sudan, membawa dan mengusung pola pikir rasional dalam berbagai kuliahnya.
Pola pikir itu pula yang membidani lahirnya Al-Irsyad Al-Islamiyah, sebuah gerakan pembaruan, memperbaiki pemahaman keberagamaan Muslim Indonesia kala itu. Perbedaan prinsipnya dengan beberapa kalangan Arab kala itu, kian membuatnya menggebu melakukan pembaruan. Bahkan dengan Ahmad Dahlan dan K.H. Zam Zam, bertiga mereka pernah berjanji untuk berdakwah tak kenal lelah merehabilitasi pemahaman agama.
Dari sinilah peran terbagi-bagi, K.H. Ahmad Dahlan bergerak untuk kalangan pribumi dengan Muhammadiyahnya dan Ahmad Surkati sendiri mengkhususkan diri berdakwah di kalangan orang-orang Arab keturunan dengan Al-Irsyad. Al-Irsyad sebetulnya terinspirasi dan diwarnai oleh pemikiran Syekh Rasyid Ridha yang mendirikan Jamiyat Dawah wa al-Irsyad di Mesir. Tujuan utama dari gerakan ini adalah mendorong kaum Muslim mengabdikan dirinya dalam mendidik umat dan memberikan yang terbaik untuk Islam.
Al-Irsyad yang pada awalnya berdiri di Jakarta pada 6 September 1914 seiring dengan dibangunnya Mardasah Al-Irsyad oleh Syekh Ahmad Surkati dua tahun setelah Muhammadiyah berdiri, namun dalam waktu singkat terus berkembang dengan pesat ke beberapa kota lain di Pulau Jawa. Walau demikian, secara organisatoris, Ahmad Surkati bukan satu-satunya pendiri al-Irsyad. Ada tokoh lain seperti Syekh Umar Manqush, Said Mashabi, Saleh Ubayd Abat, dan Salim bin Alwad Bawai.
Setidaknya pada masa awal gerakannya, ada lima prinsip (mabda) yang selalu dijaga oleh Al-Irsyad, yakni; meneguhkan doktrin persatuan kaum Muslimin dan membersihkan ibadah dari unsur-unsur bidah; mewujudkan kesetaraan derajat di antara Muslim dalam menggali Alquran dan Sunnah; memerangi taqlid yang merebak; menyiarkan ilmu dan ajaran Islam; serta membangun pemahaman antara Muslim Indonesia dan keturunan Arab di Indonesia.
Konsentrasi awal gerakan ini dalam rangkan untuk mensukseskan program kegiatannya adalah dengan membangun dan mendirikan lembaga-lembaga pendidikan-tarbiyah. Bisa dibilang, Al-Irsyad adalah salah satu gerakan Islam yang melahirkan tokoh-tokoh bangsa di awal-awal kemerdekaan dengan program dan perannya.
Agenda-agenda reformasi yang diusungnya tanpa ragu-ragu lagi telah memberikan peran tersendiri dalam perjuangannya di Indonesia. Bahkan, sebagian besar tokoh besar Muhammadiyah kala itu adalah kader-kader yang juga dibina dalam lembaga pendidikan Al-Irsyad.
Gerakan ini dalam perkembangannya mengkonsentrasikan diri dalam perbaikan kondisi religius kaum Muslim, dari kalangan Arab khususnya dengan cara mendirikan madrasah, rumah piatu, panti asuhan, dan juga rumah sakit. Tak ketinggalan, menyebarkan ide reformasi lewat tulisan dan penerbitan pun dilakukan oleh gerakan lewat berbagai event dan aksi, mulai dari publikasi, kelompok studi sampai aksi.
Pada tahun awal berdirinya, Al-Irsyad sudah memiliki Madrasah Awaliyah dengan jenjang pendidikan selama tiga tahun. Ada juga Madrasah Ibtidaiyah dengan jenjang empat tahun, Madrasah Tajhiziyah berjenjang dua tahun dan Madrasah Mualimin yang dikhususkan untuk para guru.
Singkat kata, peran Al-Irsyad Al-Islamiyah dalam membangun umat dan membangun bangsa tak bisa diragukan lagi.
3. Keorganisasian, Visi Misi, dan Mabadi Al-Irsyad
Al-Irsyad Al-Islamiyyah memiliki empat organ aktif yang menggarap segmen anggota masing-masing, yaitu Wanita Al-Irsyad, Pemuda Al-Irsyad, Puteri Al-Irsyad, dan Pelajar Al-Irsyad. Peran masing-masing organisasi yang tengah menuju otonomisasi ini (sesuai amanat Muktamar 2000), cukup besar bagi bangsa. Pemuda Al-Irsyad misalnya, ikut aktif menumpas pemberontakan G-30-S PKI bersama komponen bangsa lainnya. Sedang Pelajar Al-Irsyad termasuk salah satu eksponen 1966 yang ikut aktif melahirkan KAPPI (Kesatuan Aksi Pemuda dan Pelajar Indonesia).
Di luar empat badan otonom tersebut, Al-Irsyad Al-Islamiyyah memiliki majelis-majelis, yaitu Majelis Pendidikan dan Pengajaran, Majelis Dakwah, Majelis Sosial dan Ekonomi, Majelis Awqaf dan Yayasan, dan Majelis Hubungan Luar Negeri. Di luar itu ada pula Lembaga Istisyariyah, yang beranggotakan tokoh-tokoh senior Al-Irsyad dan kalangan pakar-cendekiawan.
Al-Irsyad sebagai sebuah organisasi yang bercorak keagamaan dan bertujuan untuk terwujudnya insan-insan yang beriman dan bertakwa kepada Allah, melaksanakan amar maruf nahi munkar berdasarkan Alquran dan Sunnah dengan pemahaman salafussaleh demi kokohnya Negara Kesatuan Republik Indonesia (Pasal 2 AD Al-Irsyad). Untuk mencapai tujuan organisasi yang telah ditetapkan ini Al-Irsyad melakukan usaha-usaha penting, seperti mendirikan dan mengembangkan lembaga pendidikan, dakwah, sosial, dan ekonomi; mengeluarkan fatwa dan tahkim; mendirikan dan mengembangkan media informasi dan komunikasi massa; dan menjalin kerjasama dengan organisasi lain (Pasal 3 AD Al-Irsyad).
Adapun visi misi Al-Irsyad adalah bahwa Al-Irsyad sebagai organisasi dakwah dan kader harus mampu menjadi lembaga yang siap menggalang potensi ummat Islam agar bisa keluar dari keterpurukannya dan tampil memimpin bangsa ini untuk maju dan berkembang dalam kebaikan dan kebenaran (visi); dan al-Irsyad berkewajiban untuk berjuang agar dienul Islam menjadi agama yang tampil memimpin dan mengungguli semua agama serta kaum Muslimin menjadi khaira ummah yang mampu memimpin dan membimbing ummat manusia menuju jalan yang benar lagi diridhai Allah Swt (misi).
Untuk itu, mereka yang menjadi anggota Al-Irsyad mesti memahami prinsip atau mabadi Al-Irsyad, yakni:
1) Memahami ajaran Islam dari Alquran dan Sunnah serta bertahkim kepada keduanya;
2) Beriman dengan akidah Islamiyyah yang berdasarkan nash-nash kitab Alquran dan Sunnah yang sahih sebagaimana pemahaman sahabat atau kalangan salafussalih, terutama bertauhid kepada Allah dengan ketauhidan yang bersih dari syirik, takhayul, dan khurafat;
3) Beribadat menurut tuntunan Alquran dan Sunnah Rasul-Nya, bersih dari bidah;
4) Berakhlak dengan adabsusila yang luhur, moral dan etik Islam serta menjauhi adat-istiadat, moral dan etik yang bertentangan dengan Islam;
5) Memperluas dan memperdalam ilmu pengetahuan untuk kesejahteraan duniawi dan ukhrawi yang diridhai Allah Swt;
6) Meningkatkan kehidupan dan pengetahuan duniawi, pribadi dan masyarakat selama tidak diharamkan oleh Islam dengan nash, serta mengambil manfaat dari segala alat dan cara teknis, organisasi, dan administrasi modern yang bermanfaat bagi pribadi dan umat, materil, moril, dan spirituil;
7) Bergerak dan berjuang secara terampil dan dinamis dengan pengorganisasian dan koordinasi yang baik bersama-sama organisasi-organisasi lain dengan jiwa ukhuwah Islamiyyah dan kesetiaan.
H. Metode Penelitian
1. Jenis dan Pendekatan
Penelitian ini dirancang mengikut kepada prinsip-prinsip dalam penelitian kualitatif. Menurut Basrowi dan Suwandi (2008:20), penelitian kualitatif merupakan penelitian yang dilakukan berdasarkan paradigma, strategi, dan implementasi model secara kualitatif. Penelitian kualitatif dilakukan dalam situasi alamiah (natural setting) dan data yang dikumpulkan umumnya bersifat kualitatif (Husaini dan Setiady, 2001:78). Dengan kata lain, sesuai makna etimologinya, penelitian kualitatif adalah jenis penelitian yang temuan-temuannya tidak diperoleh melalui prosedur kuantifikasi, perhitungan statistik, atau bentuk cara-cara lainnya yang menggunakan ukuran angka (Strauss & Corbin, 1990). Karena itu, bentuk data yang digunakan bukan berbentuk bilangan, angka, skor atau nilai; peringkat atau frekuensi; yang biasanya dianalisis dengan menggunakan perhitungan matematik atau statistik (Creswell, 2002).
Menurut Creswell (2003), pendekatan kualitatif adalah pendekatan untuk membangun pernyataan pengetahuan berdasarkan perspektif-konstruktif (misalnya, makna-makna yang bersumber dari pengalaman individu, nilai-nilai sosial dan sejarah, dengan tujuan untuk membangun teori atau pola pengetahuan tertentu), atau berdasarkan perspektif partisipatori (misalnya: orientasi terhadap politik, isu, kolaborasi, atau perubahan), atau keduanya. Dengan demikian, penelitian yang menggunakan penelitian kualitatif bertujuan untuk memahami objek yang diteliti secara mendalam. Lincoln dan Guba (1982) menjelaskan bahwa penelitian kualitatif bertujuan untuk membangun ideografik dari body of knowledge, sehingga cenderung dilakukan tidak untuk menemukan hukum-hukum dan tidak untuk membuat generalisasi, melainkan untuk membuat penjelasan mendalam atau ekstrapolasi atas objek tersebut.
Berkenaan dengan pendekatan yang digunakan, maka penelitian dirancang dengan menggunakan pendekatan atau model penelitian studi kasus yang disesuaikan dan diintegrasikan dengan pendekatan sejarah, terutama ketika penggalian data-data yang berhubungan dengan sejarah pembentukan organisasi Al-Irsyad, sejarah kepengurusan dan kepemimpinan, dan sejarah perkembangan gerakan dakwah Al-Irsyad di Kalimantan Selatan.
Model penelitian studi kasus sebagaimana dijelaskan Bogdan dan Bikien (1982) merupakan upaya pengujian secara rinci terhadap satu latar atau satu orang subjek atau satu tempat penyimpanan dokumen atau satu peristiwa tertentu. Winarno Surachmad (1982) membatasi pendekatan studi kasus sebagai suatu pendekatan dengan memusatkan perhatian pada suatu kasus secara intensif dan rinci. Sementara Yin (1987) memberikan batasan yang lebih bersifat teknis dengan penekanan pada ciri-cirinya. Untuk itu, mengikut Ary, Jacobs, dan Razavieh (1985), dalam penelitian studi kasus seorang peneliti hendaknya berusaha menguji unit atau individu secara rinci dan mendalam.
Berdasarkan batasan tersebut dapat dipahami bahwa batasan studi kasus pada prinsipnya meliputi: (1) sasaran penelitiannya dapat berupa manusia, peristiwa, latar, dan dokumen; (2) sasaran-sasaran tersebut ditelaah secara mendalam sebagai suatu totalitas sesuai dengan latar atau konteksnya masing-masing dengan maksud untuk memahami berbagai kaitan yang ada di antara variabel-variabelnya.
Studi kasus sendiri, dalam implementasinya terbagi dalam beberapa jenis. Bogdan & Biklen (1982) mengklasifikasikan tipe-tipe studi kasus ke dalam enam tipologi. Keenam tipologi ini merupakan studi kasus tunggal (single case studies), yakni studi kasus kesejarahan sebuah organisasi, studi kasus observasi, studi kasus sejarah kehidupan (life history), studi kasus komunitas sosial atau kemasyarakatan, studi kasus analisis situasional, dan studi kasus mikroemografi.
Di antara enam jenis studi kasus model Bogdan & Biklen di atas, dalam penelitian ini peneliti memilih perpaduan jenis penelitian studi kasus kesejarahan mengenai organisasi dan studi kasus observasi. Studi kasus kesejarahan mengenai organisasi adalah model penelitian studi kasus yang dipusatkan pada sejarah perkembangan suatu organisasi dan dinamika yang dialami oleh organisasi tersebut (Erna Febru, 2008). Hal yang dituntut dalam studi kasus model ini adalah pemusatan perhatian mengenai perjalanan dan perkembangan sejarah organisasi sosial tertentu dan dalam jangka waktu tertentu pula. Karena itu, melakukan studi macam ini memerlukan sumber-sumber informasi dan bahan-bahan yang akurat dan terpercaya, juga membutuhkan kecermatan dalam merinci secara sistematik perkembangan dari tahap-tahap sebuah organisasi sosial (Bogdan & Biklen, 1982).
Sedangkan studi kasus observasi adalah model penelitian studi kasus yang dalam aplikasinya mengutamakan teknik observasi partisipan dalam pengumpulan datanya dan fokus studinya pada suatu organisasi tertentu. Bagian-bagian dari organisasi yang menjadi fokus dari model penelitian studi kasus ini di antaranya adalah organisasi, kumpulan para pengurus atau anggota, dan aktivitas yang dilaksanakan (Erna Febru, 2008). Dengan kata lain, menurut Bogdan dan Biklen (1982), model penelitian studi kasus observasional ini lebih menekankan kepada kemampuan seorang peneliti untuk menggunakan teknik observasi dalam kegiatan penelitian; di mana dengan teknik observasi ini diharapkan dapat dijaring keterangan-keterangan empiris yang detail dan aktual dari unit analisis atau unit pemikiran (thinking unit) penelitian, apakah itu menyangkut kehidupan individu maupun unit-unit sosial tertentu dalam masyarakat.
Selanjutnya, dengan mengikut kepada ciri-ciri yang dikemukakan oleh Erna Febru (2008) tentang studi kasus yang baik, maka peneliti beranggapan bahwa penelitian terhadap sejarah perkembangan dakwah dan amal usaha organisasi Al-Irsyad di Kalimantan Selatan memenuhi indikator tersebut, yakni:
a. Studi kasus yang baik, seperti model studi kasus kesejarahan organisasi hendaknya menyangkut sesuatu yang luar biasa, yang berkaitan dengan kepentingan umum atau bahkan dengan kepentingan nasional;
b. Batas-batasnya dapat ditentukan dengan jelas, kelengkapan ini juga ditunjukkan oleh kedalaman dan keluasan data yang digali peneliti, dan permasalahan yang hendak diungkap mampu dijawab oleh penelitinya dengan baik dan tepat meskipun dihadang oleh berbagai keterbatasan;
c. Mampu mengantisipasi berbagai alternatif jawaban dan sudut pandang yang berbeda-beda, karena pembahasan tentang sejarah perkembangan organisasi terkadang memiliki informasi yang bervariasi, penjelasan, dan sisi pandangan yang berbeda dari sumbernya;
d. Studi kasus kesejarahan organisasi hendaknya mampu menunjukkan bukti-bukti dan deskripsi yang lengkap terhadap keberadaan dari organisasi yang diteliti, baik yang mendukung pandangan peneliti maupun data-data yang didasarkan pada prinsip selektivitas.
Adapun pndekatan sejarah, sebagaimana dikatakan di atas akan diaplikasikan manakala data-data yang digali secara khusus berhubungan dengan sejarah pembentukan organisasi Al-Irsyad, sejarah kepengurusan dan kepemimpinan, dan sejarah perkembangan gerakan dakwah Al-Irsyad di Kalimantan Selatan.
Pendekatan sejarah ini diaplikasikan mengikut kepada model yang disarankan oleh Louis Gatschalk (1985) dalam bukunya berjudul Understanding History. Penelitian dengan menggunakan pendekatan sejarah pada prinsipnya merupakan suatu proses untuk menguji dan menganalisis secara kritis sumber, rekaman dan peninggalan masa lalu dengan merekonstruksi berdasarkan data yang diperoleh dengan menempuh proses historiografi (Louis Gottschalk, 1985: 32). Dengan kata lain, sebagaimana dijelaskan Aminuddin Kasdi (2000: 10), pendekatan sejarah merupakan alat, piranti atau prosedur yang digunakan sejarawan dalam tugas meneliti sejarah. Karena itu, pendekatan sejarah setidaknya mempunyai empat unsur utama dalam penerapannya, yaitu heuristik, verifikasi, interpretasi dan historiografi (Louis Gottschalk, 1985:32).
a. Heuristik
Heuristik merupakan proses mencari dan menemukan sumber-sumber yang diperlukan. Dalam usaha mengumpulkan sumber penelitian, peneliti lakukan melalui studi literatur dan penelusuran arsip atau dokumentasi yang menjelaskan dan memuat data serta informasi tentang tentang permasalahan yang dikaji, yakni tentang organisasi Al-Irsyad, terutama yang ada di Kalimantan Selatan. Penelusuran arsip dan dokumentasi dilakukan di sekretariat Pimpinan Wilayah dan Cabang Al-Irsyad dan kepada orang-orang yang dianggap menyimpan arsip keorganisasi Al-Irsyad. Kegiatan ini dilakukan untuk mencari data secara selektif dan relevan dengan permasalahan yang ada.
b. Verifikasi (Kritik Sumber)
Setelah melakukan pengumpulan data, tahap berikutnya adalah verikasi atau lazim disebut dengan kritik untuk memperoleh keabsahan sumber, yang dalam konteks ini menurut Dudung Abdurrahman (1999:58) diuji keabsahan dan keaslian sumber (otentik) melalui kritik ekstern serta uji kredibilitas sumber dengan kritik intern.
Dalam penelitian ini nantinya, penekanan juga akan lebih banyak diberikan pada studi literatur yang mengutamakan isi sumber berdasarkan kredibilitasnya. Antara sumber primer dan sekunder diadakan perbandingan sehingga dapat saling melengkapi.
c. Interpretasi
Interpretasi sering disebut juga dengan istilah penafsiran sejarah atau analisis sejarah. Analisis sejarah itu sendiri bertujuan melakukan sintesis atas sejumlah fakta yang diperoleh dari sumber-sumber sejarah. Interpretasi dapat dilakukan dengan membandingkan data-data yang diperoleh guna menyingkap peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam waktu yang sama. Setelah data terkumpul lalu data disimpulkan untuk kemudian dibuat penafsiran keterkaitan antara sumber yang diperoleh.
d. Historiografi
Historiografi merupakan kegiatan akhir dalam proses pengumpulan data sejarah yang sedang diteliti. Pada langkah ini fakta- fakta disusun secara sistematis dalam suatu sintesa yang komparatif, kausalitas, dan kronologis sehingga tersusun sebuah hasil penelitian tentang sejarah (dalam hal sejarah organisasi Islam Al-Irsyad).
Di samping menggunakan empat tahap metode tersebut di atas, dalam pelaksanaannya peneliti juga menggunakan pendekatan interdisipliner, misalnya sosiologi yang digunakan untuk memahami karakteristik kelompok atau masyarakat Arab keturunan.
2. Lokasi
Penelitian ini dilaksanakan di Kalimantan Selatan sebagai salah satu daerah sebaran tempat berdiri dan beraktivitasnya Al-Irsyad Al-Islamiyyah yang berada di bawah koordinasi Pimpinan Wilayah (PW).
Dipilihnya PW Al-Irsyad Al-Islamiyyah Kalimantan Selatan sebagai setting penelitian didasari bahwa dinamika perkembangan, aktivitas, maupun keberadaan dari organisasi selama tidak banyak terekspos dan belum diteliti secara detail. Padahal eksistensinya sangat signifikan untuk diketahui mengingat peran sejarah yang dimainkannya dalam ikut menggerakan usaha dakwah, pendidikan, sosial dan lainnya yang telah menjadi bidang garapan utama organisasi.
Di samping itu, trend isu yang kurang baik sebagaimana dikemukakan pada bagian pendahuluan, kecenderungan atau sifat organisasi yang dinilai oleh sebagian masyarakat ekslusif sebagai organisasi orang-orang Arab, dan permasalahan dualisme kepemimpinan di tingkat pusat yang terjadi dalam organisasi ini dianggap telah memberikan dampak yang terhadap eksistensi dan kiprah organisasi ini di daerah, termasuk di Kalimantan Selatan. Oleh itu, perlu untuk dikaji agar bisa dipahami masyarakat luas guna mengantisipasi ekses-ekses yang tidak diinginkan akibat kesalahpamanan maupun karena tertutup dan terbatasnya informasi tentang organisasi ini.
3. Populasi dan Sampel
Sugiyono (2001) mengartikan populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek atau subjek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya. Sedangkan sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut. Dengan kata lain, menurut Djarwanto dan Subagyo (1993), sampel adalah bagian dari populasi yang karakteristiknya hendak diselidiki dan dianggap bisa mewakili keseluruhan populasi (representative).
Berdasarkan konsep di atas, maka populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pengurus dan anggota organisasi Al-Irsyad yang tergabung dalam kepengurusan Pimpinan Wilayah (PW) Al-Irsyad Al-Islamiyyah Kalimantan Selatan. Kemudian, mengingat besarnya jumlah populasi yang ada dan agar data yang dijaring lebih valid dan akurat, maka diperlukan responden sebagai sampel dari populasi dan informan yang benar-benar mengetahui permasalah penelitian. Guna memperoleh informan dan responden yang sesuai, dalam rangka penjaringan data tersebut, maka peneliti menggunakan teknik snowball sampling (bola Salju). Teknik ini digunakan untuk menetapkan informan yang dianggap paling mengetahui masalah yang dikaji dan kemudian mampu memberikan informasi atau merekomendasikan kepada peneliti tentang siapa-siapa yang bisa bertindak sebagai informan lainnya. Dalam aplikasinya, data-data penting yang relevan dengan permasalahan penelitian yang bersumber dari sampel (responden) akan terus digali, sehingga mencapai titik jenuh. Dengan kata lain, bahwa dengan teknik ini diharapkan informasi yang ada kaitannya dengan fokus penelitian akan teruangkap dan didapat secara lebih lengkap dan detil.
Selanjutnya, teknik snowball sampling ini diimplementasikan melalui cara tunnel atau cerobong (Bogdan dan Biklen, 1982), yakni dengan cara mengumpulkan data dari sampel dengan cara seluas-luasnya untuk kemudian dipersempit dan dipertajam berdasarkan kepada fokus penelitian atau pokok permasalahan.
Suharsimi Arikunto (2006:17) juga menjelaskan hal yang sama berkenaan dengan pelaksanaan teknik snowball sampling, yaitu peneliti memilih responden secara berantai. Jika pengumpulan data dari responden pertama sudah selesai, maka peneliti meminta agar responden tersebut memberikan informasi atau rekomendasi untuk responden yang kedua, lalu yang kedua juga memberikan rekomendasi untuk responden ketiga, dan seterusnya. Proses bola salju ini berlangsung terus sampai peneliti memperoleh data yang cukup dan sesuai dengan kebutuhan.
4. Objek
Objek penelitian merupakan variabel atau apa yang menjadi titik perhatian suatu penelitian (Suharsimi Arikunto, 2006:118). Karenanya, yang menjadi objek dalam penelitian ini berkenaan dengan sejarah perkembangan dakwah Al-Irsyad Al-Islamiyyah di Kalimantan Selatan, khususnya adalah tentang sejarah pembentukan dan perkembangan organisasi dakwah Al-Irysad Al-Islamiyah Kalimantan Selatan; amal usaha dakwah yang telah dilakukan oleh Al-Irsyad Al-Islamiyyah Kalimantan Selatan; dan berbagai hambatan yang dirasakan oleh Al-Irsyad Al-Islamiyyah dalam mengembangkan manajemen keorganisasian serta dakwah Islam di Kalimantan Selatan.
5. Data dan Sumber Data
Jenis data yang akan digali dalam penelitian ini adalah data kualitatif. Menurut Miles dan Huberman (1992) data kualitatif adalah data-data yang berwujud kata-kata dan bukan dalam bentuk deretan angk-angka. Data kualitatif dianggap sangat menarik, karena data tersebut merupakan sumber dari pemahaman dan deskripsi yang sangat luas, mempunyai landasan yang kokoh serta memuat penjelasan tentang proses-proses yang terjadi dalam lingkup penelitian. Karenanya dengan data kualitatif diharapkan peneliti dapat mengikuti dan memahami alur peristiwa secara kronologis, menilai sebab-sebab dalam pikiran orang-orang setempat dan memperoleh penjelasan yang banyak dan bermanfaat.
Data yang digali dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer adalah data-data yang secara langsung berhubungan dan menjadi jawaban bagi permasalahan penelitian serta didapat langsung dari objek terteliti (Bagong, dkk, 2005:55), yakni data-data tentang sejarah pembentukan dan perkembangan organisasi dakwah Al-Irysad Al-Islamiyah Kalimantan Selatan; amal usaha dakwah yang telah dilakukan oleh Al-Irsyad Al-Islamiyyah Kalimantan Selatan; dan berbagai hambatan yang dirasakan oleh Al-Irsyad Al-Islamiyyah dalam mengembangkan manajemen keorganisasian serta dakwah Islam di Kalimantan Selatan. Sedangkan data sekunder adalah data penunjang yang digunakan untuk melengkapi data primer, yakni data-data yang diperoleh dari lembaga atau institusi tertentu, seperti Biro Pusat Statistik, Kantor Kementerian Agama, dan lain-lain, misalnya berkenaan dengan gambaran umum lokasi penelitan; jumlah komunitas atau keturunan orang Arab, karakteristik sosial orang-orang Arab, dan lain-lain.
Adapun sumber data dalam penelitian ini adalah subjek darimana data dapat diperoleh. Dengan kata lain sumber data dalam penelitian ini diklasifikasikan menjadi tiga bagian, yakni sumber data berupa orang (person), sumber data berupa tempat atau benda (place) dan sumber data berupa simbol atau paper yang cocok untuk penggunaan metode dokumentasi (Suharsimi Arikunto, 2006:129). Karena itu dapat dikatakan bahwa yang menjadi sumber data dalam penelitian ini yang berupa person terdiri dari pengurus dan mantan pengurus organisasi, anggota, dan simpatisan organisasi; sumber data yang berupa place adalah tempat atau sekretariat yang menjadi pusat kegiatan organisasi Al-Irsyad; dan yang berupa simbol adalah dokumentasi-dokumentasi (kliping surat kabar, buku dokumentasi kegiatan, foto, film, laporan kegiatan) yang berkenaan dengan sejarah perkembangan, amal usaha dakwah dan kegiatan-kegiatan lainnya yang dilaksanakan sebagai wujud dari visi-misi, tujuan, maupun program kerja organisasi yang telah dirumuskan.
6. Teknik Pengumpulan Data
Pada prinsipnya, data penelitian kualitatif tidak hanya berupa kondisi perilaku masyarakat yang diteliti, tetapi juga kondisi dan situasi lingkungan di sekitarnya. Untuk mencapai hal tersebut jenis data yang digunakan bervariasi, di antaranya adalah pengalaman personal, introspektif, sejarah kehidupan, hasil wawancara, observasi lapangan, perjalanan dan perkembangan, serta hasil pengamantan visual, yang menjelaskan momen-momen dan nilai-nilai rutinitas dan problematik kehidupan setiap individu yang terlibat di dalam penelitian.
Untuk memenuhi kebutuhan data yang beranekaragam tersebut, penelitian kualitatif menggunakan berbagai metode atau pengumpulan data. Denzin dan Lincoln (2005) menjelaskan bahwa metode pengumpulan data yang dipergunakan di antaranya adalah catatan lapangan, wawancara, percakapan, foto, rekaman dan berbagai artefak, dokumen atau arsip yang terdapat di lapangan. Antara teknik yang satu dengan teknik yang lainnya tidak saling terpisah, tetapi saling berkaitan dan saling mendukung untuk menghasilkan data yang sesuai dengan kebutuhan. Data yang diperoleh dari suatu teknik disalingsilangkan (tringulasi) dengan data yang diperoleh melalui metode yang lain, sehingga menghasilkan data yang dapat dipercaya (valid) dan sesuai dengan kenyataan (reliabel). Secara khusus, Lincoln dan Guba (1985), menyebut reabilitas di dalam penelitian kualitatif dipenuhi melalui kredibilitas (credibility) partisipan, konsistensi (consistent) dan transferabilitas (transferability) temuan. Sedangkan validitas dapat dicapai melalui kualitas (quality) data, ketepatan (rigor) dan kejujuran (trustworthiness) pengungkapannya.
Untuk menjalankan tuntutan teknik pengumpulan data yang demikian, penelitian kualitatif menempatkan manusia sebagai figur terpenting dalam penelitian; artinya peneliti memposisikan diri sebagai instrumen utama penelitian. Karena, peneliti sebagai manusia berhubungan langsung dan tidak dapat dipisahkan dalam proses pengumpulan, analisis dan interpretasi data. Oleh karena itu, realitas yang berhasil digali dan ditemukan melalui penelitian kualitatif sering dianggap bersifat subjektif, karena sangat tergantung dari kapasitas dan kredibilitas pihak-pihak yang terkait, baik peneliti maupun partisipan yang terlibat.
Bogdan dan Biklen (1982) menyatakan pula bahwa pengumpulan data dalam penelitian kualitatif dilakukan dengan menggunakan tiga teknik utama, penerapan ketiga teknik ini dilakukan secara fleksibel dan simultan sesuai dengan jenis data yang hendak dicari, yaitu wawancara mendalam, observasi, dan studi dokumentasi yang ditambah dengan studi kepustakaan atau referensi yang relevan dengan permasalahan yang dikaji.
Wawancara dilakukan secara mendalam terhadap orang-orang yang secara organisatoris memiliki hubungan, yakni kepada para pengurus, mantan pengurus maupun anggota organisasi Al-Irsyad serta dengan berbagai kalangan yang dianggap memiliki informasi penting tentang Al-Irsyad. Wawancara dilakukan dengan cara terbuka, sehingga data-data penting dapat dieksplorasi secara luas dan agar subjek terteliti dapat mengemukakan pendapat, respon, atau tanggapan mereka seluas dan sebebas mungkin.
Observasi atau pengamatan dilakukan secara langsung di lokasi penelitian, yakni tempat-tempat yang menjadi pusat kegiatan organisasi Al-Irsyad Kalimantan Selatan, sekretariat kepengurusan, maupun daerah-daerah yang menjadi kantong keberadaan para anggota atau simpatisan dari organisasi. Dengan demikian, teknik observasi digunakan terhadap subjek terteliti dalam konteks aktivitasnya selama kegiatan keorganisasian, misalnya dalam pertemuan, bergaul, berinteraksi dan sebagainya. Observasi yang dilakukan tidak dikondisikan, akan tetapi berlatar alami. Kemudian keterlibatan peneliti sendiri dalam observasi tersebut bisa bersifat aktif dan bisa pula bersifat pasif, sesuai dengan situasi dan kondisi serta data yang akan digali.
Studi dokumentasi dilakukan untuk mendapatkan data-data yang berhubungan dengan sejarah, perkembangan keorganisasian, kepengurusan, kepemimpinan Al-Irsyad, maupun aktivitas dan gerakan dakwah, sosial, dan pendidikan yang telah dilakukan. Dengan kata lian, studi dokumentasi digunakan untuk mencari dan mengumpulkan data penelitian yang berwujud secara tertulis, berupa catatan, gambar, simbol penting dan sebagainya yang berkenaan dengan permasalahan yang diteliti.
Studi kepustakaan dilakukan dengan menelaah sejumlah bahan pustaka yang relevan untuk mendapatkan informasi dan deskripsi penting berkenaan dengan sejarah pembentukan organisasi, visi-misi, tujuan, prinsip gerakan, bidang garapan dan lain-lain, hingga kemudian organisasi ini masuk dan berkembang di Kalimantan Selatan.
7. Analisis Data
Menurut Patton (1980) analisis data adalah proses mengatur urutan data, mengorganisasikanya ke dalam suatu pola, kategori, dan satuan uraian dasar. Sedangkan Taylor (1975:79) mendefinisikan analisis data sebagai proses merinci usaha secara formal untuk menemukan tema dan merumuskan hipotesis (ide) seperti yang disarankan dan sebagai usaha untuk memberikan bantuan dan tema pada hipotesis. Jika dikaji, pada dasarnya definisi Patton lebih menitikberatkan pengorganisasian data sedangkan definisi Taylor lebih menekankan maksud dan tujuan analisis data.
Menurut Mohammad Hasyim (1983:41), analisis data adalah serangkaian kegiatan mengolah data yang telah dikumpulkan dari lapangan menjadi seperangkat hasil penelitian, baik dalam bentuk penemuan-penemuan baru maupun dalam bentuk pembuktian kebenaran anggapan.
Berdasarkan definisi di atas, maka dapat disintesiskan bahwa analisis data merupakan proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola, kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan berdasarkan perolehan data. Hal ini dikarenakan data yang terkumpul banyak sekali dan terdiri dari catatan lapangan dan komentar peneliti, gambar, foto, dokumen, berupa laporan, biografi, artikel, dan sebagainya. Sehingga perlu dilakukan kegiatan untuk mengatur, mengurutkan, mengelompokkan, memberikan kode, dan mengkategorikannya.
Analisis data itu sendiri dilakukan dalam suatu proses. Proses berarti pelaksanaannya sudah mulai dilakukan sejak pengumpulan data dilakukan dan dikerjakjan secara intensif, yaitu sudah meninggalkan lapangan. Pekerjaan menganalisis data memerlukan usaha pemusatan perhatian dan pengerahan tenaga, pikiran peneliti. Selain menganalisis data. Peneliti juga perlu untuk mendalami referensi, buku rujukan, atau kepustakaan guna mengkonfirmasikan teori atau untuk menjastifikasikan adanya teori baru yang barangkali ditemukan.
Menurut Owen (1987) dalam penelitian kualitatif, analisis data dilakukan bersamaan dengan pengumpulan data. Lebih jauh dijelaskan pula bahwa analisis data merupakan proses penelaahan, pengurutan dan pengelompokan data dengan tujuan untuk menyusun hipotesis kerja dan mengangkatnya menjadi teori sebagai hasil penelitian (Miles dan Huberman, 1986). Sedangkan menurut Bogdan dan Biklen (1982) analisis data merupakan proses penelaahan dan penyusunan secara sistematik semua transkrip wawancara, catatan lapangan dan material-material lainnya yang telah ditulis oleh peneliti selama proses pengumpulan data.
Pada dasarnya data kualitatif tidak dianalisis dengan angka-angka, melainkan dalam bentuk kata-kata atau paragraf-paragraf yang dinyatakan dalam bentuk narasi yang bersifat deskriptif. Karena itu teknik analisis yang digunakan adalah teknik deskriptif, yang dalam penerapannya menurut Miles dan Huberman (1986: 16) harus dilakukan secara berlanjut, berulang, dan terus-menerus melalui tiga alur kegiatan yang dilakukan secara bersama-sama, yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan atau verifikasi.
Reduksi data adalah proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakkan dan transformasi data mentah atau kasar yang muncul dari catatan-catatan tertulis di lapangan, karena itu reduksi data dilakukan secara berkesinambungan mulai dari awal kegiatan hingga akhir pengumpulan data, baik berupa pembuatan singkatan, pengkodean, pengkategoriaan, pengurutan, pengelompokkan, pemusatan tema, penentuan batas-batas permasalahan dan pembuatan memo (catatan).
Penyajian data adalah proses penyusunan informasi yang komplek ke dalam satu bentuk yang sistematis, sehingga menjadi lebih sederhana dan selektif, serta dapat dipahami maknanya, hal ini dimaksudkan untuk menemukan pola-pola yang bermakna serta memberikan kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan.
Penarikan kesimpulan dapat dilakukan berdasarkan pernyataan-pernyataan yang telah dibuat untuk menemukan pola, topik atau tema sesuai dengan masalah penelitian, karena itu peneliti akan membuat kesimpulan-kesimpulan yang bersifat longgar dan terbuka, dimana pada awalnya mungkin terlihat belum jelas, namun dari sana akan meningkat menjadi lebih rinci dan mengakar secara kokoh.
Berdasarkan uraian di atas maka pada dasarnya penganalisisan data dalam penelitian ini dilakukan dalam dua tahap, yaitu selama proses pengumpulan data dan setelah data terkumpul.
Hasil analisis data tahap pertama dijadikan bahan pertimbangan untuk meneliti kembali masalah penelitian, rumusan masalah, dan tujuan penelitian yang telah dibuat sebelumnya. Pada tahap kedua hasil analisis data tahap pertama dilanjutkan dengan pemberian sandi, penomoran, dan penyortiran (Bogdan dan Biklen, 1982).
8. Pengecekan Keabsahan Data
Kriteria-kriteria yang digunakan sebagai dasar untuk pengecekan atau pemeriksaan keabsahan data dalam penelitian ini meliputi empat hal, yaitu kredibilitas, transferabilitas, dependabilitas dan komfirmabilitas (Moloeng, 1990:175).
a. Kredibilitas
Kredibilitas data dilakukan untuk membuktikan bahwa apa yang telah peneliti amati adalah sesuai dengan dengan apa yang sesungguhnya dan sebenarnya terjadi di lapangan. Untuk tujuan ini akan dilakukan triangulasi serta pengecekan anggota dan diskusi sesama anggota Tim Peneliti.
Triangulasi dimaksud meliputi tentang sumber data yang dilakukan dengan cara menanyakan kebenaran data atau informasi yang diperoleh dari seorang informan kepada informan yang lainnya. Kemudian triangulasi tentang teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara membandingkan data atau informasi yang didapat melalui teknik tertentu dengan data atau informasi yang telah didapat melalui teknik yang lain.
Pengecekan anggota dilakukan dengan cara menunjukkan data atau informasi, termasuk hasil interpretasi peneliti yang telah ditulis dengan baik dalam format catatan lapangan atau transkrip wawancara kepada informan untuk dikomentari atau ditambah informasi lainnya yang dianggap perlu. Komentar, reaksi atau tambahan data informasi tersebut akan digunakan untuk memperbaiki catatan lapangan atau transkrip wawancara.
b. Transferabilitas
Melalui teknik ini peneliti berusaha semaksimal mungkin untuk melaporkan hasil penelitian secermat dan sedetil mungkin berbagai data dan informasi yang telah ditemukan di lapangan, sehingga fokus penelitian akan tergambar secara jelas dan baik.
c. Dependabilitas
Hal ini dimaksudkan untuk menilai proses penelitian yang telah dilakukan, apakah sudah sesuai dengan prosedur atau tidak, dan untuk mengoreksi berbagai kesalahan yang mungkin terjadi, sehingga dapat direvisi kembali.
d. Kompirmabilitas
Komfirmabilitas data dimaksudkan untuk menilai data hasil penelitian yang dilakukan apakah terkait dengan informasi serta interpretasi yang didukung oleh materi yang tersedia pada penelusuran atau pelacakan audit atau tidak. Hal ini dilakukan agar temuan penelitian dengan data yang terhimpun melalui pelacakan terhadap catatan-catatan lapangan, metode pengumpulan data dan teknik analisa data menjadi absah dan benar.
9. Tahap-Tahap Penelitian
Tahap-tahap penelitian yang dimaksud dalam penelitian ini adalah berkenaan dengan proses pelaksanaan penelitian. Menurut Moleong (1990:85) tahap penelitian tersebut meliputi: tahap pra-penelitian, tahap penelitian, dan tahap pasca-penelitian.
a. Tahap Pra-penelitian
Pra-penelitian adalah tahap sebelum peneliti berada di lapangan. Pada tahap pra penelitian ini akan dilakukan kegiatan-kegiatan, antara lain: mencari permasalahan penelitian melalui bahan-bahan tertulis ataupun melalui observasi langsung di lapangan, kegiatan-kegiatan ilmiah dan non-ilmiah, dan pengamatan atau wawancara dengan pakar, kemudian merumuskan permasalahan yang masih bersifat tentatif dalam bentuk konsep awal, berdiskusi dengan orang-orang tertentu yang dianggap memiliki pengetahuan atau informasi tentang permasalahan yang masih bersifat tentatif, menyusun sebuah konsep ide pokok penelitian, menyusun usulan penelitian yang lengkap, dan penyiapan persyaratan pengurusan surat izin penelitian.
b. Tahap Penelitian
Penelitian adalah tahap yang sesungguhnya selama berada di lapangan. Pada tahap penelitian ini akan dilakukan kegiatan-kegiatan, antara lain: menyiapkan bahan-bahan yang diperlukan di lapangan, seperti surat izin penelitian, perlengkapan alat tulis-menulis, dan alat perekam lainnya, berkonsultasi dengan pihak-pihak yang berwenang dan berkepentingan dengan latar penelitian untuk mendapatkan rekomendasi penelitian, mengumpulkan data atau informasi yang terkait dengan fokus penelitian, menganalisis data penelitian dan pembuatan draf awal konsep hasil penelitian.
c. Tahap Pasca-penelitian
Pasca-penelitian adalah tahap sesudah kembali dari lapangan. Pada tahap pasca-penelitian ini akan dilakukan kegiatan-kegiatan, antara lain: menyusun konsep laporan penelitian dan perampungan laporan penelitian.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pentahapan dalam penelitian ini adalah bentuk urutan atau berjenjang, yakni dimulai dari tahap pra-penelitian ke tahap penelitian sampai ke tahap pasca-penelitian. Namun walaupun demikian sifat dari kegiatan yang akan dilakukan pada masing-masing tahapan tersebut tidaklah bersifat ketat, karena bisa saja kegiatan tertentu pada suatu tahapan terjadi penambahan, pengulangan atau pengurangan.
Referensi
A. Hasjmy, (1981), Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia, Bandung: Al-Maarif.
Al-Habib Alwi bin Thahir al-Haddad, (2001), Sejarah Masuknya Islam di Timur Jauh, Jakarta: Lentera.
Ahmad Mansur Suryanegara, (1998), Menemukan Sejarah: Wacana Pergerakan Islam di Indonesia, Bandung: Mizan.
Ahmad Sarkati, (2005), Konsep Pendidikan Menurut Surkati: Sebuah Upaya Rekonstruksi Pendidikan Islam, Jurnal Khazanah, Volume IV Nomor 04, Juli-Agustus 2005 (halaman 432-453), IAIN Antasari Banjarmasin.
Ali Mustafa Yaqub, (1997), Sejarah dan Metode Dakwah Nabi, Jakarta: Pustaka Firdaus.
Aminuddin Kasdi, (2000), Memahami Sejarah, Surabaya: Unesa Press, 2000.
Arnold, Thomas W. (1983), The Preaching of Islam, Bandung: Wijaya.
Asep Saeful Muhtadi dan Agus Ahmad Safei, (2003), Metode Penelitian Dakwah, Bandung: Pustaka Setia.
Azyumardi Azra, (1989), Perspektif Islam di Asia Tenggara, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Bagong, Suyanti, dan Sutinah, (2005), Metode Penelitian Sosial: Berbagai Alternatif Pendekatan, Jakarta: Prenada Media Kencana.
Basrowi dan Suwandi, (2008), Memahami Penelitian Kualitatif, Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Bisri Affandi, (1999), Syaikh Ahmad Syurkati 1874-1943: Pembaharu & Pemurni Islam di Indonesia, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
Bogdan, Robert C. & Biklen, Sari Knopp, (1982), Qualitative Research for Education: An Introduction to Theory and Methods, Boston: Allyn and Bacon.
Buku Panduan Musyawarah Cabang III PC. Al-Irsyad Al-Islamiyyah Kodya Banjarmasin, 1993, (Arsip Pribadi).
Creswell, John W. (1994), Research Design Quantitative And Qualitative Approach, London: Sage Publication.
Dadang Kahmad, (2000), Metode Penelitian Agama, Bandung: Pustaka Setia.
Deliar Noer, (1985), Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, Jakarta: LP3ES.
Dudung Abdurrahman, (1999), Metode Penelitian Sejarah, Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
Gottschalk, L. (1985), Understanding History, Jakarta: Universitas Indonesia Press.
Hamka, (2009), Sejarah Umat Islam, Singapura: Pustaka Dini.
Husaini Usman dan Purnomo Setiady Akbar, (2001), Metodologi Penelitian Sosial, Jakarta: PT. Bumi Asara.
Hussein Badjerei, (1996), Al-Irsyad Mengisi Sejarah Bangsa, Jakarta: Presto Prima Utama.
Lexy J. Moleong, (1990), Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
L.W.C. van den Berg, (2010), Orang Arab di Nusantara, Depok: Komunitas Bambu.
Maman, dkk. 2006, Metodologi Penelitian Agama, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Miles, M.B. & A.M. Huberman, (1994), Qualitative Data Analysis, CA: Sage Publication.
Mohammad Abu Suhud, Memahami Sejarah Dakwah dan Ruang Lingkup Kajian Sejarah Dakwah, http://www.sejarahdakwah.blogspot.com/ (Publish, 13 Februari 2011; Akses, 17 Februari 2012).
Mohammad Hasyim, (1983), Penuntun Dasar Kearah Penelitian Masyarakat, Surabaya: PT. Bina Ilmu.
Muhammad Musthafa Atha, (1982), Ad-Dawatu Tahririyatil Kubra, Surabaya: PT. Bina Ilmu.
Munir dan Wahyu Ilaihi, (2006), Manajemen Dakwah, Jakarta: Prenada Media.
Natalie Mobini Kesheh, (2007), Hadrami Awakening: Kebangkitan Hadrami di Indonesia, Jakarta: Akbar Media Eka Sarana.
Pijper, G.F. (1984), Beberapa Studi Tentang Sejarah Islam di Indonesia 1900-1950, Jakarta: Universitas Indonesia.
Saifuddin Ahmad Husin, (2005), Trade Jargon Hadrami Arabic in Martapura: Arab Identity Maintenance and Allegiance, Jurnal Khazanah, Volume IV Nomor 05, September-Oktober 2005 (halaman 469-486), IAIN Antasari Banjarmasin.
———, (2008), Interferensi Leksikon Bahasa Melayu Terhadap Bahasa Arab: Kajian atas Surat-Surat Orang Arab Hadrami di Nusantara Pada Abad ke-19, Jurnal Al-Jami, Volume 4 Nomor 2, Juli-Desember 2008 (halaman 89-123), STAI Al-Jami Banjarmasin.
Streenbrink, Karel S. (1989), Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke-19, Jakarta: PT. Bulan Bintang.
Suharsimi Arikunto, (2006), Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Taufik Abdullah, (1991), Sejarah Umat Islam di Indonesia, Jakarta: Majelis Ulama Indonesia.
Wahyu Ilaihi dan Harjani Hefni, (2007), Pengantar Sejarah Dakwah, Jakarta: Prenada Media.
Wardi Bachtiar, (1997), Metodologi Penelitian Ilmu Dakwah, Jakarta: Logos Wavana Ilmu.
Winarno Surakhmad, (1982), Dasar dan Teknik Research, Bandung: Tarsito.
Yin, Robert K. (1996), Studi Kasus: Desain dan Metode, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada
Zaini Muchtarom, (1996), Dasar-dasar Manajemen Dakwah, Yogyakarta: Al-Amin dan IKFA.

[1]Arsip pribadi Zulfa Jamalie, berdasarkan catatan dan syahadah (piagam) tanda keikutsertaan dalam kegiatan tersebut.
[2]Untuk menyelesaikan masalah dualisme kepemimpinan ini, para petinggi dan pimpinan pusat Al-Irsyad sudah merencanakan untuk mempertemukan kembali kedua organisasi yang berbeda nama tetapi mempunyai visi dan misi yang yang sama untuk berdamai atau ishlah melalui kegiatan Musyawarah Pimpinan Nasional dan Muktamar Organisasi bertepatan dengan 100 tahun (1 Abad) usia Al-Irsyad Al-Islamiyah pada tahun 2012 ini. Dalam muktamar dimaksud akan dibicarakan pula masalah-masalah yang berhubungan dengan konsolidasi organisasi, perkembangan isu-isu politik, berbagai persoalan terkait kehidupan umat Islam, masalah terorisme, fundamentalisme, dan kekerasan atas nama agama (Koran Republika, 2012).
[3]Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung (QS. Ali Imran 104); Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, namun di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik (QS. Ali Imran 110); Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk (QS. al-Nahl 125).


1 komentar:

  1. SALAM, APA KABAR ? Alhamdulillah saya telah mengunjungi Blog Anda, intinya thema dan uraian materinya sangat bagus. Nah, tidak ada salahnya jika tulisan Anda juga dituangkan dalam Jurnal Ilmiyah, dengan beberapa alasan. SUATU HAL YANG SULIT DIPUNGKIRI DENGAN LUASNYA WILAYAH NKRI + ASEAN SANGAT MUNGKIN DATA SEJARAH TERKAIT KEBERADAAN :
    PERAN AKTIF TOKOH/TEUNGKU/TUAN GURU/ AJEUNGAN
    LEMBAGA PENDIDIKAN (Mis. PESANTREN, DAYAH, SURAU, MADRASAH)
    KESULTANAN
    MASJID
    MAKAM
    ISTANA
    NASKAH/MANUSKRIP
    TATARUANG KOTA
    KERAJINAN (gerabah, batik, Kaligrafi, seni pentas, senjata, logam, keramik, dll)
    Masing-masing tersebut di atas BELUM BANYAK TERUNGKAP. (Pilih salah satu saja)
    Jurnal Ilmiyah KALIJAGA dengan izin terbit ISSN no.2302-6758, (focus Sejarah Kebudayaan & Peradaban Islam di Asia Tenggara) selalu setia menunggu Makalah dan/ atau hasil penelitian dari para PEMERHATI, PENELITI, DOSEN, GURU Pengampu materi SEJARAH KEBUDAYAAN ISLAM. Andai sudah ditulis tolong kirim via email : jurnalkalijaga@ymail.com.
    Untuk membangun kebersamaan, tolong disampaikan kpd segenap teman yang lain. Jazakumullah kheir khoiral jaza’. Tks

    BalasHapus