A. Pendahuluan
Perkembangan
Islam di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari peran dan jasa berbagai
organisasi keIslaman yang bergerak di bidang dakwah maupun di bidang
pendidikan, sosial, dan bidang lainnya. Bahkan, kelompok organisasi
Islam ini pulalah yang ikut andil memperjuangkan dan membidani kelahiran
Negara Kesatuan Republik Indonesia dan mengisinya dengan nilai-nilai
kehidupan religius hingga saat ini. Salah satu dari organisasi dimaksud
adalah Al-Irsyad Al-Islamiyah.
Al-Irsyad merupakan organisasi terkemuka dari masa kebangkitan (nahdah)
dan dipandang yang paling reformis yang dikembangkan oleh komunitas
Hadrami (orang-orang Arab dari Hadramaut), yang mengontrol sumber daya
terbanyak, dan yang mempunyai pengaruh besar atas ide-ide Hadrami,
sehingga sampai pada tahun 1942, Al-Irsyad telah mengelola sistem
sekolah dan pendidikan Arab hampir di seluruh Nusantara (Natalie,
2007:68).
Al-Irsyad
Al-Islamiyyah berdiri pada 6 September 1914 (15 Syawal 1332 H). Tanggal
tersebut mengacu pada pendirian Madrasah Al-Irsyad yang pertama di
Jakarta dengan nama Jamiyyah al-Islah wa al-Irsyad al-Arabiyyah (Arab Association for Reform and Guidance), walaupun pengakuan hukumnya sendiri baru dikeluarkan pemerintah kolonial Belanda pada 11 Agustus 1915.
Di
masa awal pendiriannya, ada dua program besar yang menjadi prioritas
Al-Irsyad. Program ini, sebagaimana dikemukakan Natalie Mobini (2007:75)
disebutkan dalam konstitusi yang diadopsi oleh Al-Irsyad di tahun 1915
yang menyatakan bahwa tujuannya untuk mengumpulkan dan menggalang dana
serta menggunakannya untuk hal-hal sebagai berikut:
1. untuk
menyebarluaskan budaya Arab yang sesuai dengan agama Islam, mengajarkan
pada masyarakat Arab membaca dan menulis, memajukan Bahasa Arab,
Belanda, dan bahasa-bahasa lain yang penting;
2. untuk
mendirikan bangunan dan hal-hal lain demi mendapatkan keuntungan dan
sekaligus terpenuhinya tujuan yang disebutkan di atas, misalnya tempat
pertemuan anggota, sekolah, dan hal-hal lain yang memajukan umum dan
sesuai dengan tujuan organisasi, dengan ketentuan bahwa hal itu tidak
menyimpang dari hokum, kebiasaan yang baik, dan ketertiban umum;
3. untuk mengembangkan sebuah perpustakaan yang mengkoleksi buku-buku yang berguna dalam mengembangkan pemikiran.
Pernyataan
tujuan di atas dengan titik tekan pada bidang pendidikan menunjukkan
bahwa Al-Irsyad bermaksud untuk melanjutkan pekerjaan mengembangkan
sekolah modern yang sudah dimulai oleh Jamiat Khair.
Adapun
tujuan yang kedua dari Al-Irsyad adalah mereformasi praktik (ritual)
umat Islam sebagaimana yang tercantum dalam pernyataan selanjutnya
mengenai prinsip pokok Al-Irsyad dan telah diterbitkan oleh Pimpinan
Pusat Al-Irsyad pada tahun 1938, untuk selanjutnya, prinsip pokok ini
dijabarkan menjadi Sembilan mabadi Al-Irsyad sebagai dasar sikap Irsyadiyin (anggota atau pengurus Al-Irsyad).
Tokoh sentral pendiri Al-Irsyad adalah Syekh Ahmad Surkati Al-Anshori, seorang ulama besar Mekkah yang berasal dari Sudan. Surkati
dikenal sebagai pelopor reformasi Islam dan pelopor gerakan pembaharu
di Indonesia serta pembawa paham Syekh Muhammad Abduh (Mesir) ke
Indonesia. Program reformis Muhammad Abduh merupakan gerakan pemurnian
Islam (terutama di Mesir) dari pengaruh-pengaruh dan praktik-praktik
yang merusak, pembaharuan pendidikan tinggi Muslim, pembaharuan dokrin
Islam yang dipandang dari pemikiran modern, dan pembelaan Islam
(Azyumardi Azra, 1989:116).
Pada
mulanya Surkati datang ke Indonesia atas permintaan perkumpulan Jamiat
Khair yang berdiri pada 1905 dan mayoritas anggota dan pengurusnya
terdiri dari orang-orang Indonesia keturunan Arab golongan sayyid (alawiyin).
Surkati tiba di Indonesia bersama dua kawannya, yakni Syekh Muhammad
Tayyib al-Maghribi dan Syekh Muhammad bin Abdul Hamid al-Sudani. Di
Indonesia, Surkati giat melaksanakan pembaharuan dan menyebarkan ide-ide
baru dalam lingkungan masyarakat Islam Indonesia. Surkati diangkat
sebagai penilik sekolah-sekolah yang dibuka oleh Jamiat Khair, baik yang
dibangun di Jakarta maupun di Bogor.
Berkat
kepemimpinan dan bimbingan Surkati, dalam waktu satu singkat,
sekolah-sekolah tersebut maju pesat. Namun Surkati hanya bertahan tiga
tahun di Jamiat Khair karena perbedaan paham yang cukup prinsipil dengan
para pengurus Jamiat Khair. Di antara penyebabnya, walaupun Jamiat
Khair tergolong organisasi yang memiliki cara dan fasilitas modern,
namun pandangan keagamaannya, khususnya yang menyangkut persamaan
derajat, belum terserap baik. Ini nampak setelah para pemuka Jamiat
Khair dengan kerasnya menentang fatwa Surkati tentang kafaah
(persamaan derajat). Sehingga, karena tak disukai lagi, Surkati akhirnya
memutuskan mundur dari Jamiat Khair, pada 6 September 1914 (15 Syawal
1332 H) dan di hari itu juga Surkati bersama beberapa sahabatnya
mendirikan Madrasah Al-Irsyad, serta organisasi untuk menaunginya yang
dinamakan dengan Jamiyyah al-Islah wal-Irsyad al-Arabiyah, yang kemudian berganti nama menjadi Jamiyyah al-Islah wal-Irsyad al-Islamiyyah.
Umumnya
anggota organisasi Al-Irsyad terdiri dari orang Indonesia keturunan
Arab (yang berasal dari Hadrami atau Hadramaut), karena itu ada yang
menyebutnya sebagai organisasi orang-orang Arab, walaupun anggapan ini
tidak seluruhnya benar, sebab mengacu kepada AD/ART, Al-Irsyad adalah
organisasi Islam Nasional. Syarat keanggotaannya, seperti tercantum
dalam Anggaran Dasar Al-Irsyad adalah: Warga negara Republik Indonesia
yang beragama Islam yang sudah dewasa. Jadi tidak benar anggapan bahwa
Al-Irsyad merupakan organisasi warga keturunan Arab.
Al-Irsyad
di masa-masa awal kelahirannya dikenal sebagai kelompok pembaharu Islam
di Nusantara, bersama Muhammadiyah dan Persatuan Islam (Persis). Tiga
tokoh utama organisasi ini; Surkati, K.H.Ahmad Dahlan, dan Ahmad Hassan
(A. Hassan), sering disebut sebagai Trio Pembaharu Islam Indonesia.
Mereka bertiga juga berkawan akrab. Malah menurut A. Hassan, sebetulnya
dirinya dan Ahmad Dahlan adalah murid dari Syekh Ahmad Surkati, meski
tak terikat jadwal pelajaran resmi.
Namun
demikian, menurut sejarawan Belanda G.F. Pijper (1984) yang benar-benar
merupakan gerakan pembaharuan dalam pemikiran dan ada persamaannya
dengan gerakan reformisme di Mesir adalah Gerakan Pembaharuan Al-Irsyad.
Sedang Muhammadiyah, kata Pijper, sebetulnya timbul sebagai reaksi
terhadap politik pemerintah Hindia Belanda pada waktu itu yang berusaha
untuk mengKristenkan orang-orang Indonesia.
Muhammadiyah
lebih banyak peranannya pada pembangunan lembaga-lembaga pendidikan.
Sedang Al-Irsyad, begitu lahir seketika terlibat dengan berbagai masalah
diniyah. Al-Irsyad kemudian telah menempatkannya sebagai
pendobrak, hingga pembinaan organisasi agak tersendat. Al-Irsyad juga
terlibat dalam permasalahan di kalangan keturunan Arab, hingga sampai
dewasa ini ada salah paham bahwa Al-Irsyad merupakan organisasi para
keturunan Arab.
Al-Irsyad
juga berperan penting sebagai pemrakarsa Muktamar Islam I di Cirebon
pada 1922, bersama Syarekat Islam (SI) dan Muhammadiyah. Sejak itu pula,
Surkati bersahabat dekat dengan H. Agus Salim dan H.O.S Tjokroaminoto.
Al-Irsyad juga aktif dalam pembentukan MIAI (Majlis Islam Alaa
Indonesia) di zaman pendudukan Jepang, Badan Kongres Muslimin Indonesia
(BKMI), dan lain-lain, sampai juga pada Masyumi, Badan Kontak Organisasi
Islam (BKOI), dan Amal Muslimin. Bahkan, pada Muktamar Islam di Cirebon
inilah Al-Irsyad yang waktu itu diwakili oleh Surkati, Umar Sulaiman
Naji, dan Abdullah Badjerei, menyatakan dengan tegas bahwa Indonesia
bisa merdeka hanya dengan Islamisme, bukan paham yang lain. Peristiwa
ini sekaligus membuktikan bahwa para pemimpin Al-Irsyad pada tahun 1922
sudah berbicara masalah nasionalisme dan kemerdekaan Indonesia!
Seperti
yang diajarkan Syekh Muhammad Abduh di Mesir, Al-Irsyad mementingkan
pelajaran Bahasa Arab sebagai alat utama untuk memahami Islam dari
sumber-sumber pokoknya. Dalam sekolah-sekolah Al-Irsyad dikembangkan
jalan pikiran anak-anak didik dengan menekankan pengertian dan daya
kritik. Tekanan pendidikan diletakkan pada pelajaran tauhid, fikih, dan
sejarah.
Sejak
didirikannya, Al-Irsyad Al-Islamiyyah yang bertujuan memurnikan tauhid,
ibadah, dan amaliyah Islam melancarkan berbagai program di bidang
pendidikan dan dakwah, dengan fokus pengembangan pada lima bidang utama,
yakni bidang pendidikan, bidang organisasi, bidang dakwah dan
penerangan, bidang usaha ekonomi, serta bidang kesejahteraan sosial dan
budaya. Untuk merealisir tujuan ini, Al-Irsyad sudah mendirikan ratusan
sekolah formal dan lembaga pendidikan non-formal di seluruh Indonesia.
Dalam perkembangannya kemudian, kegiatan Al-Irsyad juga merambah bidang
kesehatan, dengan mendirikan beberapa rumah sakit; yang terbesar saat
ini adalah RS Al-Irsyad di Surabaya dan RS Siti Khadijah di Pekalongan.
Sedangkan di bidang dakwah dan penerangan, usaha dan pengembangan yang
dilakukan Al-Irsyad antaranya adalah: membina anggota dan masyarakat
menjadi khaira ummah dengan mengefektifkan peran mubaligh;
melakukan pengkaderan ulama melalui pendidikan tinggi baik di dalam
maupun di luar negeri; penyelenggaraan dan pengembangan
majelis taklim sebagai majelis ilmu dan dakwah; intensifikasi dakwah di
daerah-daerah terpencil yang rawan karena masalah tekanan ekonomi dan
keterbelakangan pendidikan; menghidupkan media massa (media tertulis)
dengan misi dakwah sebagai sarana komunikasi dan penyuluh umat.
Berdasarkan data yang ada, menurut K.H. Abdullah Mubarak al-Jaidi (Ketua
Umum Al-Irsyad Periode 2007-2012), organisasi yang dipimpinnya saat ini
telah memiliki 134 cabang seluruh Indonesia, 23 wilayah propinsi, 250
sekolah, 5 pesantren mandiri, ada sejumlah rumah sakit, dan dalam waktu
dekat juga akan dibangun Sekolah Tinggi Dakwah Al-Irsyad (Koran
Republika, 2011).
Kemudian
sebagaimana organisasi keagamaan yang lain, dalam perkembangannya
Al-Irsyad telah membuka cabang dan berdiri dibeberapa daerah di
Indonesia, termasuk di Kalimantan Selatan. Secara singkat, kepengurusan
(dinamakan dengan Pimpinan Wilayah) Al-Irsyad di Kalimantan Selatan
mulai dibentuk pada tahun 1989 melalui kegiatan Musyawarah Wilayah
Al-Irsyad I untuk masa bakti 1989-1991, di mana pada masa ini Pimpinan
Wilayah Al-Irsyad diketuai oleh H. Salim Thalib (bekas pemilik Hotel
Maramin dan sekarang telah diubah namanya menjadi Hotel Mentari
Banjarmasin) dengan sekretaris Drs. Muhammad Yusuf HB.
Musyawarah tingkat wilayah ini kemudian juga diikuti oleh Musyawarah
Cabang Al-Irsyad Kota Banjarmasin pada tahun yang sama dan berhasil
mengukuhkan kepengurusan Pimpinan Cabang (PC) Al-Irsyad Kota Banjarmasin
periode 1989-1991 yang waktu itu diketuai oleh H. Idrus Machdan
(Pemilik Perusahan Jamu Rumput Fatimah). Adapun markas atau sekretariat
PW dan PC Al-Irsyad pada waktu itu beralamat di Jl. Antasan Kecil Barat
RT 26 No. 113 Banjarmasin (Kode Pos 70115). Pembentukan pengurus
Al-Irsyad diberbagai cabang di Kalimantan Selatan diikuti lagi oleh
cabang-cabang Al-Irsyad di kota lain, seperti Kabupaten Banjar
(Martapura), Kabupaten Barito Kuala, dan lain-lain.
Dalam
perjalanannya di Kalimantan Selatan, seiring dengan perjalanan waktu
dan silih bergantinya kepengurusan, Al-Irsyad telah melaksanakan dan
berupaya untuk mewujudkan visi-misi organisasi dalam rangka
mengembangkan dan memberikan sumbangsih terhadap pembangunan bangsa.
Beberapa institusi pendidikan sebagai sumbangsih nyata Al-Irsyad telah
berhasil dibangun dibeberapa tempat, seperti di Banjarmasin, Batola, dan
Martapura, penerbitan beberapa referensi keIslaman, distribusi Alquran,
pengkaderan, pelatihan, dan lain-lain (Laporan Kepengurusan,
Dalam
konteks di atas, untuk pengkaderan kepengurusan dan konsolidasi
organisasi, pada 20-22 September 1992, Al-Irsyad telah melaksanakan
Latihan Dasar Kepemimpinan (LDK) dan Up Grading Kepengurusan Al-Irsyad
Cabang Kota Banjarmasin dalam rangka mencari dan mengkader anggota serta
pengurus Al-Irsyad sehingga terjadi regenerasi dan penyegaran
kepengurusan. Kemudian, pada 18-20 Nopember 1994
dilaksanakan pula Pelatihan Manajemen Dakwah Islam (PMDI) Al-Irsyad se
Kalimantan Selatan dalam rangka membekali anggota dan pengurus Al-Irsyad
melakukan manajemen aktivitas dakwah dan manajemen keorganisasian yang
waktu itu dipusatkan di PP. Al-Hidayah Teluk Dalam Banjarmasin.[1]
Tapi
sungguh disayangkan, pada perkembangan terakhir organisasi dengan peran
panjang dan besar itu tengah digoyang badai. Perbedaan pendapat di
antara Pimpinan Pusat dalam tubuh gerakan pelopor kebangkitan ini telah
mengakibatkan terpecahnya pengelolaan organisasi menjadi dua kelompok
kepemimpinan pada tahun 1998, yakni organisasi Al-Irsyad Al-Islamiyah
(pimpinan K.H. Abdullah Mubarak al-Jaidi dan Mohammad Noer) sebagai
organisasi semula dan Perhimpunan Al-Irsyad sebagai organisasi tandingan
yang dideklarasikan oleh Ir. H. Farouk Badjabir dan Masdun Pranoto pada
tahun 2007. Imbas dualisme kepemimpinan[2]
dan perpecahan di tubuh Al-Irsyad tersebut dirasakan pula oleh
kepengurusan dan eksistensi Al-Irsyad di daerah (Kalimantan Selatan),
seperti masalah pengkaderan dan kepengurusan organisasi yang terlihat
seperti vakum, sehingga laju roda manajemen organisasi menjadi
tersendat.
Di
samping masalah internal keorganisasian, Al-Irsyad juga menghadapi
berbagai tuduhan miring dari pihak-pihak tertentu, misalnya ada yang
mensinyalir bahwa organisasi ini telah menerima dan mendapat bantuan
dari dari pihak-pihak tertentu yang berkepentingan terhadap penyebaran
faham Wahabi di Indonesia; Al-Irsyad dianggap pro dan sepaham dengan
gerakan-gerakan untuk menjadikan Indonesia sebagai Negara Islam;
Al-Irsyad ditengarai mendukung gerakan-gerakan garis keras atau radikal
dan lain-lain.
Melihat
berbagai permasalahan di atas, menarik untuk mengkaji kembali sejarah
perkembangan dakwah dan amal usaha Al-Irsyad, khususnya di Kalimantan
Selatan dengan fokus kajian pada sejarah perkembangan keorganisasian,
aktivitas dakwah dan sumbangan, serta manajemen organisasi kedakwahan.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang permasalahan di atas, maka masalah utama yang dikaji
dalam penelitian ini adalah berkenaan dengan sejarah perkembangan dakwah
dan amal usaha Al-Irsyad Al-Islamiyyah, khususnya di Kalimantan Selatan
sebagai bagian penting dari pengkajian dan pengembangan bidang kajian
Sejarah Dakwah dan Manajemen Dakwah.
Penelitian
terhadap permasalahan ini dilaksanakan dengan berpijak pada hasil
penelitian dan pernyataan dari banyak penulis, seperti Mariah (1981), A
Baiti al-Badru (1991), G.F. Pijper (1984), Deliar Noer (1985), Hussein
Badjerei (1996), Natalie Mobini Kesheh (2007), dan lain-lain yang pada
intinya sepakat dan menyimpulkan bahwa Al-Irsyad adalah salah satu
organisasi yang mempelopori gerakan pembaharuan Islam di Indonesia di
samping Muhammadiyah dan Persis; mempelopori gerakan kebangkitan
Nasional dan kemerdekaan Indonesia; membangun, mencerdaskan, dan
mengkader umat melalui lembaga pendidikan yang didirikannya; serta
mengembangkan amal usaha di bidang dakwah maupun pendidikan sebagai
bidang utama garapannya.
Fokus dari penelitian di atas, kemudian dijabarkan dalam rumusan masalah berikut:
1. Bagaimana sejarah pembentukan dan perkembangan organisasi dakwah Al-Irysad Al-Islamiyah Kalimantan Selatan?
2. Apa saja amal usaha dakwah yang telah dilakukan oleh Al-Irsyad Al-Islamiyyah Kalimantan Selatan?
3. Apa
saja hambatan yang dirasakan oleh Al-Irsyad Al-Islamiyyah dalam
mengembangkan manajemen keorganisasian dan dakwah Islam di Kalimantan
Selatan?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan
utama dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui, menggali,
dan mendeskripsikan sejarah perkembangan dakwah dan amal usaha Al-Irsyad
Al-Islamiyyah, khususnya di Kalimantan Selatan. Dengan kata lain,
tujuan dari penelitian ini adalah untuk menjawab permasalahan yang telah
dirumuskan, yakni untuk mengetahui dan mendeskripsikan:
1. Sejarah pembentukan dan perkembangan organisasi dakwah Al-Irysad Al-Islamiyah di Kalimantan Selatan;
2. Kegiatan, aktivitas, dan amal usaha dakwah yang telah dilakukan oleh Al-Irsyad Al-Islamiyyah di Kalimantan Selatan;
3. Hambatan-hambatan
yang dirasakan oleh Al-Irsyad Al-Islamiyyah dalam mengembangkan
manajemen keorganisasian dan melaksanakan program dakwah Islam di
Kalimantan Selatan?
D. Signifikansi Penelitian
Penelitian
ini diharapkan memberi manfaat dan sumbangsih secara keilmuan maupun
secara praktis. Secara keilmuan diharapkan memberikan sumbangan terhadap
perkembangan dan kajian-kajian penting berkenaan dengan Sejarah Dakwah
dan Manajemen Dakwah dengan fokus kajian pada organisasi dakwah
Al-Irsyad Al-Islamiyyah. Kemudian secara prkatis penelitian ini
diharapkan memberikan sumbangan pokok-pokok dan gagasan pemikiran
pengembangan usaha dakwah di Kalimantan Selatan secara organisasi dan
manajemen atau pengelolaan organisasi kedakwahan model Al-Irsyad
Al-Islamiyyah.
E. Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian
berkenaan dengan dengan sejarah perkembangan dakwah dan amal usaha
Al-Irsyad Al-Islamiyyah, khususnya di Kalimantan Selatan yang dirancang
dan dijalankan ini merupakan bagian penting dari bidang pengkajian dan
pengembangan terhadap Sejarah Dakwah dan Manajemen Dakwah khususnya.
Sejarah Dakwah yang merupakan kajian terhadap peristiwa masa lampau umat Islam dalam upaya mereka menyeru, memanggil, dan mengajak umat manusia kepada Islam serta
reaksi atau respon dari umat yang diseru dan perubahan-perubahan yang
terjadi setelah dakwah disampaikan, baik secara langsung maupun tidak
langsung merupakan bagian penting dari pengembangan dakwah. Wardi
Bachtiar (1997:36) menyatakan bahwa sejarah dakwah adalah salah satu
bagian penting dari wilayah penelitian Ilmu Dakwah, karena proses dakwah
yang panjang dan karakteristik masing-masing periode maupun peristiwa
sejarah dakwah akan memberikan gambaran bagaimana terjadinya suatu
peristiwa sebagai dasar untuk pengembangan ilmu dakwah ke depan. Karena
itu, ruang lingkup penelitian Sejarah Dakwah berhubungan dengan
aktivitas umat Islam baik secara perorangan atau individual (fardhiyah) maupun secara berkelompok atau berorganisasi (jamaah) sebagaimana yang disinggung dalam QS. Ali Imran 104, 110, dan QS. al-Nahl 125[3]
dalam rangka memenuhi perintah Allah Swt untuk menyebarluaskan Islam,
membina masyarakat, melakukan transformasi sosial budaya, memelihara
agama, dan mempertahankannya dari serang-serangan musuh Islam. Sejarah
Islam meliputi pula deskripsi perjuangan umat Islam menegakkan agama
dalam rentang masa tertentu (Wahyu Ilaihi dan Harjani Hefni, 2007:3-4).
Dengan
kata lain, sebagaimana dijelaskan Abu Suhud (2011), ruang lingkup dari
kajian tentang Sejarah Dakwah pada prinsipnya meliputi hal-hal yang
berhubungan dengan pertumbuhan
dakwah (awal mula kegiatan dakwah Islam) secara kronologis sampai akhir
kegiatan dakwah dan dakwah kawasan, yakni mempelajari pertumbuhan
dakwah di suatu daerah tertentu atau pada masa tokoh (dai),
kelompok, atau komunitas tertentu, salah satunya di antaranya adalah
kajian tentang sejarah dari organisasi dakwah.
Sedangkan untuk Manajemen Dakwah, ruang lingkup yang menjadi fokus kajiannya adalah isu-isu
manajemen dakwah, kelembagaan Islam, unsur-unsur manajemen dakwah,
fungsi-fungsi manajemen dakwah, sejarah manajemen dakwah, pemikiran
tokoh manajemen dakwah, rekonstruksi manajemen dakwah, perspektif
Alquran dan Sunnah, manajemen dakwah dan kajian lintas disiplin.
Berdasarkan
ruang lingkup di atas, jelas apabila penelitian tentang organisasi
Al-Irsyad merupakan salah satu bidang garapan atau kajian dari Sejarah
Dakwah, terutama pada bagian sejarah, aktivitas, dan perkembangan dakwah
pada suatu masa atau kawasan tertentu dan juga bagian dari bidang
garapan Manajemen Dakwah, terutama berkenaan dengan kelembagaan,
keorganisasian Islam, atau pengorganisasi dakwah (al-Tanzhim), agar dakwah dapat dilaksanakan secara lebih baik, rapi, teratur, dan sistematis (Munir dan Wahyu Ilaihi, 2006:107).
F. Review Kajian
Beberapa
kajian penting tentang organisasi Al-Irsyad telah banyak ditulis dan
dilakukan oleh berbagai kalangan; mahasiswa, peneliti, dan akademisi
perguruan tinggi. Penelitian dan tulisan-tulisan dimaksud antara lain
adalah:
1. Mariah,
Gerakan Pembaharuan Islam di Indonesia, Khususnya Al-Irsyad, skripsi
sarjana pada Fakultas Sastra Universitas Indonesia, Jakarta, 1981. Dalam
penelitiannya ini, penulis mengemukakan beberapa fakta penting
keterlibatan Al-Irsyad sebagai organisasi yang mempelopori gerakan
pembaharuan di Indonesia.
2. A
Baiti al-Badru, Suatu Tinjauan Al-Irsyad sebagai Gerakan Pembaharuan
Islam di Indonesia (1914-1943). Penelitian berupa skripsi untuk mencapai
gelar sarjana di Jurusan Dakwah Fakultas Ushuluddin IAIN Syarif
Hidayatullah Jakarta tahun 1991 ini mengungkap beberapa
aspek penting sejarah perkembangan Al-Irsyad sebagai sebuah organisasi
pembaharu sebagaimana halnya Muhammadiyah dan Persis, dan bahkan
Al-Irsyad kemudian ikut bergerak mempelopori gerakan kebangkitan
nasional dan kemerdekaan Indonesia melalui lontaran gagasan-gagasan
pemikiran para pendiri, pengurus, dan tokoh-tokohnya. Dalam sejarah awal
perkembangannya, Al-Irsyad tidak hanya terlibat dalam masalah politik
dan kenegaraan, akan tetapi juga membangun dan mengkader umat melalui
lembaga pendidikan yang didirikannya serta mengembangkan amal usaha di
bidang dakwah, yang hingga sekarang menjadi salah satu bidang utama
garapannya.
3. G.F.
Pijper (penulis Belanda) dalam bukunya berjudul Beberapa Studi tentang
Sejarah Islam di Indonesia 1900-1950 terbitan UI Press Jakarta 1984
menjelaskan kedudukan organisasi Al-Irsyad dalam sejarah gerakan
kemerdekaan dan nasionalisme Indonesia. Dalam bukunya tersebut, Pijper
juga mengungkapkan latar belakang dan hubungan Al-Irsyad dengan
Muhammadiyah sebagai dua organisasi yang dianggap sepaham dalam hal
pembaharuan pemikiran Islam di Indonesia, terutama hubungan di antara
pendiri keduanya, yakni Syekh Ahmad Surkati (pendiri Al-Irsyad) dan K.H.
Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah).
4. Deliar
Noer dalam bukunya berjudul Gerakan Modern Islam di Indonesia
1900-1942, terbitan LP3ES, Jakarta, 1985, pada bagian Asal Usul dan
pertumbuhan gerakan Modern Islam: gerakan Pendidikan dan Sosial
(Masyarakat Arab) secara khusus menguraikan beberapa hal penting
berkenaan dengan sejarah dan perkembangan Al-Irsyad di masa-masa awal
pembentukannya (halaman 64-80), mulai dari organisasi Jamiat Khair
hingga kemudian berkembang menjadi Al-Irsyad. Dalam pembahasannya,
Deliar Noer menyinggung tentang peran Al-Irsyad sebagai organisasi
pembaharu di Indonesia yang digerakkan oleh orang-orang keturunan Arab,
sebagaimana halnya dengan gerakan pembaharuan yang dilakukan oleh
Muhammadiyah dan Persis.
5. Tulisan
yang cukup lengkap menjelaskan berbagai aspek perjuangan Al-Irsyad,
sejarah pembentukan organisasi dan perkembangannya hingga tahun 1996
adalah buku berjudul Al-Irsyad Mengisi Sejarah Bangsa, terbitan Presto
Prima Utama, Jakarta, 1996, yang ditulis oleh Hussein Badjerei.
6. Kajian
terbaru tentang aktivitas orang-orang Arab yang tergabung dalam
organisasi Al-Irsyad dan sering disebut sebagai organisasi komunitas
orang-orang Hadrami ditulis oleh Natalie Mobini Kesheh berjudul Hadrami
Awakening: Kebangkitan Hadhrami di Indonesia, dengan judul asli The Hadrami Awakening Community and Identity in The Netherlands East Indies 1900-1942,
penerbit Akbar Media Eka Sarana, Jakarta, 2007 yang secara khusus
mengetengahkan asal usul, aktivitas dan kepeloporan orang-orang
keturunan Arab Hadramaut di Indonesia yang tergabung dalam perkumpulan
atau organisasi Al-Irsyad. Dengan kata lain dalam buku ini dijelaskan
potret dinamika sosial, ekonomi, politik, budaya, Islam, dan pendidikan
di kalangan keturunan Arab di Indonesia serta implikasi dari dinamika
periode 1900-1942 tersebut terhadap periode berikutnya ketika Indonesia
memasuki jaman kemerdekaan dan pembangunan.
7. Tidak
lengkap apabila kajian tentang orang-orang Arab di Indonesia serta
organisasi Al-Irsyad yang notabene anggotanya kebanyakan orang-orang
Arab keturunan apabila tidak memakai referensi buku berjudul Orang Arab
di Indonesia yang ditulis oleh L.W.C van den Berg, karena dalam buku ini
dijelaskan beberapa hal penting terkait dengan sejarah, awal
kedatangan, paham, kegiatan orang-orang Arab di Indonesia. Semula, buku
ini diterbitkan oleh Indonesian Netherland Islamic Studies (INIS), Jakarta, kemudian diterbitkan ulang oleh penerbit Komunitas Bambu (Kobam), Depok, 2010.
8. Kemudian
yang tak boleh pula dilupakan adalah buku berjudul Sejarah Masuknya
Islam di Timur Jauh tulisan Al-Habib Alwi bin Thahir al-Haddad,
diterbitkan Penerbit Lentera, Jakarta, 2001 yang mengupas tentang
sejarah dakwah dan masuknya Islam ke Indonesia yang dibawa oleh para
juru dakwah langsung dari Arab. Aktivitas mereka dalam menyebarkan Islam
di Indonesia terwujud melalui berbagai metode, media, strategi, dan
pendekatan; melalui perdagangan, melalui perkawinan, melalui pusat
pemerintahan/kekuasaan, hubungan yang baik, institusi pendidikan,
pengajaran, komunitas tarekat, dan sebagainya. Buku ini menguatkan teori
yang menyatakan bahwa Islam masuk ke Indonesia langsung dibawa oleh
para juru dakwah dari Mekkah (Teori Mekkah), sebagaimana digagas oleh
sejarahwan Islam Indonesia, seperti A. Hasjmi, Hamka, dan lain-lain.
Tulisan
dan kajian dari semua penulis di atas pada prinsipnya berhubungan erat
dengan sumbangsih dan aktivitas keturunan orang-orang Arab dalam rangkan
dakwah islam di Indonesia serta menyiratkan argumentasi yang kuat bahwa
Al-Irsyad dalam sejarah gerakan kebangkitan bangsa, dakwah, dan
pembaharuan Islam memiliki posisi strategis, peran, dan fungsi yang
sangat signifikan, sehingga layak untuk terus dikaji.
Sementara,
untuk lingkup lokal (Kalimantan Selatan), tulisan dan
penelitian-penelitian tentang Al-Irsyad masih sangat terbatas. Boleh
jadi hal ini disebabkan karena pembentukan kepengurusan wilayah dan
cabangnya yang terbilang belakangan dibanding dengan organisasi Islam
serupa, yakni pada tahun 1989. Walaupun demikian, secara umum ada
beberapa tulisan dari penulis dan akademisi lokal yang membahas tentang
Al-Irsyad, di antaranya adalah:
1. Abdul
Latif, Dakwah Islamiyah Organisasi Al-Irsyad Al-Islamiyah di Kotamadya
Banjarmasin, 1994. Skripsi yang diajukan pada Fakultas Dakwah IAIN
Antasari Banjarmasin ini berisikan hasil penelitian tentang aktivitas
dakwah dan perkembangan organisasi Al-Irsyad Cabang (Pimpinan Cabang)
Kota Banjarmasin di masa-masa awal pembentukan dan konsolidasi
kepengurusan, paling tidak dari tahun 1989-1994.
2. Tulisan
yang lumayan baru dan ditulis oleh akademisi lokal, H. Ahmad Sarkati
(dosen Fakultas Tarbiyah IAIN Antasari Banjarmasin), berjudul Konsep
Pendidikan Menurut Surkati: Sebuah Upaya Rekonstruksi Pendidikan Islam
dan dimuat dalam Jurnal Khazanah IAIN Antasari Banjarmasin Volume IV,
Nomor 04, Juli-Agustus 2005 (halaman 432-453) walaupun tidak secara
khusus membahas dan mengkaji Al-Irsyad namun fokus tulisannya yang
memotret beberapa gagasan penting tentang pendidikan dari pendiri
Al-Irsyad, yakni Syekh Ahmad Surkati dirasakan memiliki keterkaitan dan
menambah referensi kajian-kajian serupa berkenaan dengan Al-Irsyad.
Dalam tulisannya ini, H. Ahmad Sarkati menyimpulkan bahwa Syekh Ahmad
Surkati sangat menekankan tujuan pendidikan untuk mencetak para guru
yang berkualitas, baik intelektual maupun moral agama, karena guru
merupakan ujung tombak dari keberhasilan pendidikan.
Berdasarkan
hasil penelitian dan beberapa tulisan di atas, khususnya kajian dan
penulisan tentang sejarah perkembangan Al-Irsyad serta amal usaha dakwah
yang dilakukannya di Kalimantan selatan belum ada dan belum terungkap
secara jelas. Oleh itu perlu untuk dikaji dan ditelaah secara khusus
melalui penelitian dalam konteks Sejarah Dakwah dan Manajemen Organisasi
Dakwah sehingga mampu memberikan informasi, deskripsi, dan sumbangan
pemikiran berkenaan dengan karakteristik dari salah satu perkembangan
organisasi terbesar ketiga ini di Indonesia dan di Kalimantan Selatan
khususnya.
G. Kajian Pustaka
1. Sejarah, Perkembangan, dan Kepengurusan Al-IrsyadAl-Islamiyyah
Perhimpunan
Al-Irsyad Al-Islamiyyah berdiri pada 6 September 1914 (15 Syawwal 1332
H). Tanggal itu mengacu pada pendirian Madrasah Al-Irsyad Al-Islamiyyah
yang pertama, di Jakarta. Pengakuan hukumnya sendiri baru dikeluarkan
pemerintah Kolonial Belanda pada 11 Agustus 1915.
Tokoh
sentral pendirian Al-Irsyad adalah Al-Alamah Syekh Ahmad Surkati
Al-Anshori, seorang ulama besar Mekkah yang berasal dari Sudan (Afrika).
Pada mulanya Surkati datang ke Indonesia atas permintaan perkumpulan
Jamiat Khair yang mayoritas anggota pengurusnya terdiri dari orang-orang
Indonesia keturunan Arab golongan sayyid, dan berdiri pada 1905.
Al-Irsyad adalah organisasi Islam nasional. Syarat keanggotaannya,
seperti tercantum dalam Anggaran Dasar Al-Irsyad adalah: Warga negara
Republik Indonesia yang beragama Islam yang sudah dewasa. Jadi tidak
benar anggapan bahwa Al-Irsyad merupakan organisasi warga keturunan
Arab.
Al-Irsyad
mempunyai sifat khusus, yaitu organisasi yang berakidah Islamiyyah
dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, di bidang pendidikan,
pengajaran, serta sosial dan dakwah bertingkat nasional (Pasal 1, ayat 2
Anggaran Dasar).
Organisasi
ini adalah organisasi mandiri yang sama sekali tidak mempunyai kaitan
dengan organisasi politik apapun juga, serta tidak mengurusi
masalah-masalah politik praktis (Pasal 1, ayat 3 Anggaran Dasar).
Surkati
tiba di Indonesia bersama dua kawannya, yakni Syekh Muhammad Tayyib
al-Maghribi dan Syekh Muhammad bin Abdul Hamid al-Sudani. Di Indonesia,
Surkati menyebarkan ide-ide baru dalam lingkungan masyarakat Islam
Indonesia. Surkati diangkat sebagai Penilik sekolah-sekolah yang dibuka
Jamiat Khair di Jakarta dan Bogor.
Berkat
kepemimpinan dan bimbingan Surkati, dalam waktu satu tahun,
sekolah-sekolah itu maju pesat. Namun Surkati hanya bertahan tiga tahun
di Jamiat Khair karena perbedaan paham yang cukup prinsipil dengan para
penguasa Jamiat Khair, yang umumnya keturunan Arab sayyid (alawiyin).
Sekalipun
Jamiat Khair tergolong organisasi yang memiliki cara dan fasilitas
moderen, namun pandangan keagamaannya, khususnya yang menyangkut
persamaan derajat, belum terserap baik. Ini nampak setelah para pemuka
Jamiat Khair dengan kerasnya menentang fatwa Surkati tentang kafaah (persamaan derajat) yang membolehkan (jaiz)
seorang perempuan syarifah kawin dengan seorang laki-laki Muslim biasa,
sebagaimana halnya fatwa yang pernah dikeluarkan oleh Syekh Muhammad
Rasyid Ridha.
Karena
tak disukai lagi, Surkati memutuskan mundur dari Jamiat Khair, pada 6
September 1914 (15 Syawwal 1332 H) dan di hari itu juga Surkati bersama
beberapa sahabatnya mendirikan Madrasah Al-Irsyad Al-Islamiyyah, serta
organisasi untuk menaunginya, yakni Jamiyat al-Islah wal-Irsyad al-Arabiyah (kemudian berganti nama menjadi Jamiyat al-Islah wal-Irsyad al-Islamiyyah).
Setelah
tiga tahun berdiri, Perhimpunan Al-Irsyad mulai membuka sekolah dan
cabang-cabang organisasi di banyak kota di Pulau Jawa. Setiap cabang
ditandai dengan berdirinya sekolah (madrasah). Cabang pertama di Tegal
(Jawa Tengah) pada 1917, dimana madrasahnya dipimpin oleh murid Surkati
angkatan pertama, yaitu Abdullah bin Salim al-Attas. Kemudian diikuti
dengan cabang-cabang Pekalongan, Cirebon, Bumiayu, Surabaya, dan
kota-kota besar lainnya.
Al-Irsyad
di masa-masa awal kelahirannya dikenal sebagai kelompok pembaharu Islam
di Nusantara, bersama Muhammadiyah dan Persatuan Islam (Persis). Tiga
tokoh utama organisasi ini, yakni Syekh Ahmad Surkati, Ahmad Dahlan, dan
Ahmad Hassan (A. Hassan), sering disebut sebagai Trio Pembaharu Islam
Indonesia. Mereka bertiga juga berkawan akrab. Malah menurut A. Hassan,
sebetulnya dirinya dan K.H. Ahmad Dahlan adalah murid Ahmad Surkati,
meski tak terikat jadwal pelajaran resmi.
Namun
demikian, menurut sejarawan Belanda G.F. Pijper, yang benar-benar
merupakan gerakan pembaharuan dalam pemikiran dan ada persamaannya
dengan gerakan reformisme di Mesir adalah Gerakan Pembaharuan Al-Irsyad.
Sedang Muhammadiyah, kata Pijper, sebetulnya timbul sebagai reaksi
terhadap politik pemerintah Hindia Belanda pada waktu itu yang berusaha
untuk menasranikan orang Indonesia.
Muhammadiyah
lebih banyak peranannya pada pembangunan lembaga-lembaga pendidikan.
Sedang Al-Irsyad, begitu lahir seketika terlibat dengan berbagai masalah
diniyah. Ofensif Al-Irsyad kemudian telah menempatkannya sebagai
pendobrak, hingga pembinaan organisasi agak tersendat. Al-Irsyad juga
terlibat dalam permasalahan di kalangan keturunan Arab, hingga sampai
dewasa ini ada salah paham bahwa Al-Irsyad merupakan organisasi para
keturunan Arab.
Al-Irsyad
juga berperan penting sebagai pemrakarsa Muktamar Islam I di Cirebon
pada 1922, bersama Syarekat Islam dan Muhammadiyah. Sejak itu pula,
Syekh Ahmad Surkati bersahabat dekat dengan H. Agus Salim dan H.O.S.
Tjokroaminoto. Al-Irsyad juga aktif dalam pembentuan MIAI (Majlis Islam
Alaa Indonesia) di zaman pendudukan Jepang, Badan Kongres Muslimin
Indonesia (BKMI) dan lain-lain, sampai juga pada Masyumi, Badan Kontak
Organisasi Islam (BKOI) dan Amal Muslimin.
Di
tengah-tengah suasana Muktamar Islam di Cirebon, diadakan perdebatan
antara Al-Irsyad dan Syarekat Islam Merah, dengan tema: Dengan apa
Indonesia ini bisa merdeka. Dengan Islamisme kah atau Komunisme?
Al-Irsyad diwakili oleh Syekh Ahmad Surkati, Umar Sulaiman Naji dan
Abdullah Badjerei, sedang SI Merah diwakili Semaun, Hasan, dan Sanusi.
Selaku
penganut paham Pan Islam, tentu Surkati bertahan dengan Islamisme.
Semaun berpendirian, hanya dengan komunisme-lah Indonesia bisa merdeka.
Dua jam perdebatan berlangsung, namun tidak ditemukan titik temu.
Walaupun demikian, Surkati ternyata menghargai positif pendirian Semaun,
dan berkata: Saya suka sekali orang ini, karena keyakinannya yang kokoh
dan jujur bahwa hanya dengan komunisme saja tanah airnya dapat
dimerdekakan (Hussein Badjerei, 1996).
Peristiwa ini sekaligus membuktikan bahwa para pemimpin Al-Irsyad pada tahun 1922 sudah berbicara masalah kemerdekaan Indonesia!
Seperti
yang diajarkan Muhammad Abduh di Mesir, Al-Irsyad mementingkan
pelajaran Bahasa Arab sebagai alat utama untuk memahami Islam dri
sumber-sumber pokoknya. Dalam sekolah-sekolah Al-Irsyad dikembangkan
jalan pikiran anak-anak didik dengan menekankan pengertian dan daya
kritik. Tekanan pendidikan diletakkan pada tauhid, fikih, dan sejarah.
Sejak
didirikannya, Al-Irsyad Al-Islamiyyah bertujuan memurnikan tauhid,
ibadah dan amaliyah Islam dengan program utama bergerak di bidang
pendidikan dan dakwah. Untuk merealisir tujuan ini, Al-Irsyad sudah
mendirikan ratusan sekolah formal dan lembaga pendidikan non-formal di
seluruh Indonesia. Dalam perkembangannya kemudian, kegiatan Al-Irsyad
juga merambah bidang kesehatan, dengan mendirikan beberapa rumah sakit,
yang terbesar saat ini adalah RS Al-Irsyad di Surabaya dan RS Siti
Khadijah di Pekalongan.
Tercatat
banyak lulusan Al-Irsyad, baik dari kalangan keturunan Arab maupun
non-Arab yang telah memainkan peran penting diberbagai bidang. Di antara
alumni Madrasah Al-Irsyad yang terkenal dan turut berperan penting
dalam modernisme Islam di Indonesia antara lain:
1) Yunus Anis, alumnus
Al-Irsyad yang dikenal sebagai seorang pemimpin yang menonjol dari
Gerakan Muhammadiyah. Ia mendapat kehormatan dijuluki tulang punggung
Muhammadiyah karena pengabdiannya sebagai Sekretaris Jenderal di
organisasi tersebut selama 25 tahun.
2) Prof. Dr. T.M. Hasby as-Shiddique, putera
asli Aceh, penulis terkenal dalam masalah hadis, tafsir, dan fikih
Islam modern. Guru besar di IAIN Yogyakarta ini bahkan pernah menjabat
Rektor Universitas Al-Irsyad di Solo (sekarang sudah tutup)
3) Prof. Kahar Muzakkir, berasal
dari Yogyakarta dan lulusan dari Madrasah Al-Irsyad, di mana kemudian
Kahar Muzakkir melanjutkan studinya di Dar al-Ulum di Kairo-Mesir. Ia
sangat aktif berjuang untuk kemerdekaan Indonesia dan termasuk
penandatangan Piagam Jakarta 22 Juni 1945. Kemudian ia menjadi Rektor
Universitas Islam Indonesia di Yogyakarta.
4) Muhammad Rasjidi, Menteri
Agama Republik Indonesia yang pertama, berasal dari Yogyakarta. Ia
pernah menjadi profesor di McGill University di Montreal, Kanada, dan
juga mengajar di Universitas Indonesia, Jakarta. Semasa hidupnya menulis
banyak buku.
5) Prof. Farid Maruf,
asli Yogyakarta, profesor di IAIN, yang juga salah satu tokoh besar
Muhammadiyah di awal-awal berdirinya. Lulusan Madrasah Al-Irsyad ini
sempat menjabat Direktur Jenderal Urusan Haji di Departemen Agama.
6) Al-Ustadz Umar Hubeis, jabatan
pertamanya adalah sebagai Direktur Madrasah Al-Irsyad Surabaya. Di
waktu yang bersamaan ia aktif di MASYUMI (Majelis Syura Muslimin
Indonesia). Umar Hubeis bahkan pernah menjadi anggota DPR mewakili
Masyumi. Ia juga menjadi profesor di Universitas Airlangga, Surabaya.
Semasa hidupnya beliau juga menulis beberapa buku, terutama fikih dan
yang terkenal adalah Kitab FATAWA.
7) Said bin Abdullah bin Thalib al-Hamdani, lulusan
Al-Irsyad Pekalongan ini sangat menguasai fikih dan menjadi profesor di
Fakultas Syariah IAIN Yogyakarta. Ia juga menulis buku-buku fikih. Di
kalangan cendekiawan dan intelektual Islam Indonesia, ia dijuluki Faqih Al-Irsyadiyin
(cendekiawan terkemuka di bidang hukum Islam dari Al-Irsyad). Sayang
kebanyakan bukunya ditulis dalam bahasa Arab dan belum diterjemahkan.
Abdurrahman Baswedan, pendiri Partai Arab Indonesia (PAI) dan aktifis MASYUMI ini pernah menjadi Wakil Menteri Penerangan RI.
Namun
perkembangan Al-Irsyad yang awalnya naik pesat, kemudian menurun
drastis bersamaan dengan masuknya pasukan pendudukan Jepang ke
Indonesia. Apalagi setelah Surkati wafat pada 1943 dan revolusi fisik
mempertahankan kemerdekaan sejak 1945; banyak sekolah Al-Irsyad hancur,
diporak-porandakan Belanda karena menjadi markas laskar pejuang
kemerdekaan. Sementara ada beberapa gedung milik Al-Irsyad yang dirampas
Belanda, sekarang berpindah tangan, tanpa bisa diambil lagi oleh
Al-Irsyad.
Sampai
1985, Al-Irsyad tinggal memiliki 14 cabang, yang seluruhnya berada di
Jawa. Namun berkat kegigihan para aktivisnya yang sudah menyebar ke
seluruh pelosok Nusantara, Al-Irsyad berkembang kembali, sejak 1986.
Puluhan cabang baru berdiri, termasuk Kalimantan Selatan, dan sehingga
kini tercatat sekitar 130 cabang, dari Pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan,
Sulawesi, hingga ke Papua.
Di
awal berdirinya di tahun 1914, Perhimpunan Al-Irsyad Al-Islamiyyah
dipimpin oleh ketua umum Salim Awad Balweel. Dalam Muktamar terakhir di
Bandung (2000), yang dibuka oleh Presiden K.H. Abdurrahman Wahid di
Istana Negara pada 3 Juli 2000, terpilih Ir. H. Hisyam Thalib sebagai
ketua umum baru, menggantikan H. Geys Amar SH yang telah menjabat posisi
itu selama empat periode (1982-2000). Setelah era kepemimpinan Ir. H.
Hisyam Thalib, Al-Irsyad mengalami perpecahan, dan sampai sekarang masih
dalam proses penyatuan kembali kepemimpinan melalui konsolidasi
kepengurusan seiring dengan 1 abad berdirinya organisasi ini melalui
muktamar di tahun 2012.
2. Al-Irsyad Al-Islamiyah: Gerakan Reformasi Islam
Adalah
Jamiat Khair, sebuah organisasi Islam tempat para ulama dan aktivis
bergabung, tempat bermulanya Syekh Ahmad Surkati mengawali karir
dakwahnya di Indonesia.
Ia
diundang secara khusus oleh gerakan ini untuk menjadi pengajar pada
berbagai badan pendidikan yang dirintisnya pada tahun 1912. Ia datang
dari Sudan, membawa dan mengusung pola pikir rasional dalam berbagai
kuliahnya.
Pola
pikir itu pula yang membidani lahirnya Al-Irsyad Al-Islamiyah, sebuah
gerakan pembaruan, memperbaiki pemahaman keberagamaan Muslim Indonesia
kala itu. Perbedaan prinsipnya dengan beberapa kalangan Arab kala itu,
kian membuatnya menggebu melakukan pembaruan. Bahkan dengan Ahmad Dahlan
dan K.H. Zam Zam, bertiga mereka pernah berjanji untuk berdakwah tak
kenal lelah merehabilitasi pemahaman agama.
Dari
sinilah peran terbagi-bagi, K.H. Ahmad Dahlan bergerak untuk kalangan
pribumi dengan Muhammadiyahnya dan Ahmad Surkati sendiri mengkhususkan
diri berdakwah di kalangan orang-orang Arab keturunan dengan Al-Irsyad.
Al-Irsyad sebetulnya terinspirasi dan diwarnai oleh pemikiran Syekh
Rasyid Ridha yang mendirikan Jamiyat Dawah wa al-Irsyad di
Mesir. Tujuan utama dari gerakan ini adalah mendorong kaum Muslim
mengabdikan dirinya dalam mendidik umat dan memberikan yang terbaik
untuk Islam.
Al-Irsyad
yang pada awalnya berdiri di Jakarta pada 6 September 1914 seiring
dengan dibangunnya Mardasah Al-Irsyad oleh Syekh Ahmad Surkati dua tahun
setelah Muhammadiyah berdiri, namun dalam waktu singkat terus
berkembang dengan pesat ke beberapa kota lain di Pulau Jawa. Walau
demikian, secara organisatoris, Ahmad Surkati bukan satu-satunya pendiri
al-Irsyad. Ada tokoh lain seperti Syekh Umar Manqush, Said Mashabi,
Saleh Ubayd Abat, dan Salim bin Alwad Bawai.
Setidaknya pada masa awal gerakannya, ada lima prinsip (mabda)
yang selalu dijaga oleh Al-Irsyad, yakni; meneguhkan doktrin persatuan
kaum Muslimin dan membersihkan ibadah dari unsur-unsur bidah; mewujudkan
kesetaraan derajat di antara Muslim dalam menggali Alquran dan Sunnah;
memerangi taqlid yang merebak; menyiarkan ilmu dan ajaran Islam; serta
membangun pemahaman antara Muslim Indonesia dan keturunan Arab di
Indonesia.
Konsentrasi
awal gerakan ini dalam rangkan untuk mensukseskan program kegiatannya
adalah dengan membangun dan mendirikan lembaga-lembaga
pendidikan-tarbiyah. Bisa dibilang, Al-Irsyad adalah salah satu gerakan
Islam yang melahirkan tokoh-tokoh bangsa di awal-awal kemerdekaan dengan
program dan perannya.
Agenda-agenda
reformasi yang diusungnya tanpa ragu-ragu lagi telah memberikan peran
tersendiri dalam perjuangannya di Indonesia. Bahkan, sebagian besar
tokoh besar Muhammadiyah kala itu adalah kader-kader yang juga dibina
dalam lembaga pendidikan Al-Irsyad.
Gerakan
ini dalam perkembangannya mengkonsentrasikan diri dalam perbaikan
kondisi religius kaum Muslim, dari kalangan Arab khususnya dengan cara
mendirikan madrasah, rumah piatu, panti asuhan, dan juga rumah sakit.
Tak ketinggalan, menyebarkan ide reformasi lewat tulisan dan penerbitan
pun dilakukan oleh gerakan lewat berbagai event dan aksi, mulai dari
publikasi, kelompok studi sampai aksi.
Pada
tahun awal berdirinya, Al-Irsyad sudah memiliki Madrasah Awaliyah
dengan jenjang pendidikan selama tiga tahun. Ada juga Madrasah
Ibtidaiyah dengan jenjang empat tahun, Madrasah Tajhiziyah berjenjang
dua tahun dan Madrasah Mualimin yang dikhususkan untuk para guru.
Singkat kata, peran Al-Irsyad Al-Islamiyah dalam membangun umat dan membangun bangsa tak bisa diragukan lagi.
3. Keorganisasian, Visi Misi, dan Mabadi Al-Irsyad
Al-Irsyad
Al-Islamiyyah memiliki empat organ aktif yang menggarap segmen anggota
masing-masing, yaitu Wanita Al-Irsyad, Pemuda Al-Irsyad, Puteri
Al-Irsyad, dan Pelajar Al-Irsyad. Peran masing-masing organisasi yang
tengah menuju otonomisasi ini (sesuai amanat Muktamar 2000), cukup besar
bagi bangsa. Pemuda Al-Irsyad misalnya, ikut aktif menumpas
pemberontakan G-30-S PKI bersama komponen bangsa lainnya. Sedang Pelajar
Al-Irsyad termasuk salah satu eksponen 1966 yang ikut aktif melahirkan
KAPPI (Kesatuan Aksi Pemuda dan Pelajar Indonesia).
Di
luar empat badan otonom tersebut, Al-Irsyad Al-Islamiyyah memiliki
majelis-majelis, yaitu Majelis Pendidikan dan Pengajaran, Majelis
Dakwah, Majelis Sosial dan Ekonomi, Majelis Awqaf dan Yayasan, dan
Majelis Hubungan Luar Negeri. Di luar itu ada pula Lembaga Istisyariyah,
yang beranggotakan tokoh-tokoh senior Al-Irsyad dan kalangan
pakar-cendekiawan.
Al-Irsyad
sebagai sebuah organisasi yang bercorak keagamaan dan bertujuan untuk
terwujudnya insan-insan yang beriman dan bertakwa kepada Allah,
melaksanakan amar maruf nahi munkar berdasarkan Alquran dan Sunnah
dengan pemahaman salafussaleh demi kokohnya Negara Kesatuan
Republik Indonesia (Pasal 2 AD Al-Irsyad). Untuk mencapai tujuan
organisasi yang telah ditetapkan ini Al-Irsyad melakukan usaha-usaha
penting, seperti mendirikan dan mengembangkan lembaga pendidikan,
dakwah, sosial, dan ekonomi; mengeluarkan fatwa dan tahkim; mendirikan
dan mengembangkan media informasi dan komunikasi massa; dan menjalin
kerjasama dengan organisasi lain (Pasal 3 AD Al-Irsyad).
Adapun
visi misi Al-Irsyad adalah bahwa Al-Irsyad sebagai organisasi dakwah
dan kader harus mampu menjadi lembaga yang siap menggalang potensi ummat
Islam agar bisa keluar dari keterpurukannya dan tampil memimpin bangsa
ini untuk maju dan berkembang dalam kebaikan dan kebenaran (visi); dan
al-Irsyad berkewajiban untuk berjuang agar dienul Islam menjadi agama
yang tampil memimpin dan mengungguli semua agama serta kaum Muslimin
menjadi khaira ummah yang mampu memimpin dan membimbing ummat manusia menuju jalan yang benar lagi diridhai Allah Swt (misi).
Untuk itu, mereka yang menjadi anggota Al-Irsyad mesti memahami prinsip atau mabadi Al-Irsyad, yakni:
1) Memahami ajaran Islam dari Alquran dan Sunnah serta bertahkim kepada keduanya;
2) Beriman dengan akidah Islamiyyah yang berdasarkan nash-nash kitab Alquran dan Sunnah yang sahih sebagaimana pemahaman sahabat atau kalangan salafussalih, terutama bertauhid kepada Allah dengan ketauhidan yang bersih dari syirik, takhayul, dan khurafat;
3) Beribadat menurut tuntunan Alquran dan Sunnah Rasul-Nya, bersih dari bidah;
4) Berakhlak
dengan adabsusila yang luhur, moral dan etik Islam serta menjauhi
adat-istiadat, moral dan etik yang bertentangan dengan Islam;
5) Memperluas dan memperdalam ilmu pengetahuan untuk kesejahteraan duniawi dan ukhrawi yang diridhai Allah Swt;
6) Meningkatkan
kehidupan dan pengetahuan duniawi, pribadi dan masyarakat selama tidak
diharamkan oleh Islam dengan nash, serta mengambil manfaat dari segala
alat dan cara teknis, organisasi, dan administrasi modern yang
bermanfaat bagi pribadi dan umat, materil, moril, dan spirituil;
7) Bergerak
dan berjuang secara terampil dan dinamis dengan pengorganisasian dan
koordinasi yang baik bersama-sama organisasi-organisasi lain dengan jiwa
ukhuwah Islamiyyah dan kesetiaan.
H. Metode Penelitian
1. Jenis dan Pendekatan
Penelitian
ini dirancang mengikut kepada prinsip-prinsip dalam penelitian
kualitatif. Menurut Basrowi dan Suwandi (2008:20), penelitian kualitatif
merupakan penelitian yang dilakukan berdasarkan paradigma, strategi,
dan implementasi model secara kualitatif. Penelitian kualitatif
dilakukan dalam situasi alamiah (natural setting) dan data yang
dikumpulkan umumnya bersifat kualitatif (Husaini dan Setiady, 2001:78).
Dengan kata lain, sesuai makna etimologinya, penelitian
kualitatif adalah jenis penelitian yang temuan-temuannya tidak
diperoleh melalui prosedur kuantifikasi, perhitungan statistik, atau
bentuk cara-cara lainnya yang menggunakan ukuran angka (Strauss &
Corbin, 1990). Karena itu, bentuk data yang digunakan bukan berbentuk
bilangan, angka, skor atau nilai; peringkat atau frekuensi; yang
biasanya dianalisis dengan menggunakan perhitungan matematik atau
statistik (Creswell, 2002).
Menurut
Creswell (2003), pendekatan kualitatif adalah pendekatan untuk
membangun pernyataan pengetahuan berdasarkan perspektif-konstruktif
(misalnya, makna-makna yang bersumber dari pengalaman individu,
nilai-nilai sosial dan sejarah, dengan tujuan untuk membangun teori atau
pola pengetahuan tertentu), atau berdasarkan perspektif partisipatori
(misalnya: orientasi terhadap politik, isu, kolaborasi, atau perubahan),
atau keduanya. Dengan demikian, penelitian yang menggunakan penelitian
kualitatif bertujuan untuk memahami objek yang diteliti secara mendalam.
Lincoln dan Guba (1982) menjelaskan bahwa penelitian kualitatif
bertujuan untuk membangun ideografik dari body of knowledge,
sehingga cenderung dilakukan tidak untuk menemukan hukum-hukum dan tidak
untuk membuat generalisasi, melainkan untuk membuat penjelasan mendalam
atau ekstrapolasi atas objek tersebut.
Berkenaan
dengan pendekatan yang digunakan, maka penelitian dirancang dengan
menggunakan pendekatan atau model penelitian studi kasus yang
disesuaikan dan diintegrasikan dengan pendekatan sejarah, terutama
ketika penggalian data-data yang berhubungan dengan sejarah pembentukan
organisasi Al-Irsyad, sejarah kepengurusan dan kepemimpinan, dan sejarah
perkembangan gerakan dakwah Al-Irsyad di Kalimantan Selatan.
Model
penelitian studi kasus sebagaimana dijelaskan Bogdan dan Bikien (1982)
merupakan upaya pengujian secara rinci terhadap satu latar atau satu
orang subjek atau satu tempat penyimpanan dokumen atau satu peristiwa
tertentu. Winarno Surachmad (1982) membatasi pendekatan studi kasus
sebagai suatu pendekatan dengan memusatkan perhatian pada suatu kasus
secara intensif dan rinci. Sementara Yin (1987) memberikan batasan yang
lebih bersifat teknis dengan penekanan pada ciri-cirinya. Untuk itu,
mengikut Ary, Jacobs, dan Razavieh (1985), dalam penelitian studi kasus
seorang peneliti hendaknya berusaha menguji unit atau individu secara
rinci dan mendalam.
Berdasarkan
batasan tersebut dapat dipahami bahwa batasan studi kasus pada
prinsipnya meliputi: (1) sasaran penelitiannya dapat berupa manusia,
peristiwa, latar, dan dokumen; (2) sasaran-sasaran tersebut ditelaah
secara mendalam sebagai suatu totalitas sesuai dengan latar atau
konteksnya masing-masing dengan maksud untuk memahami berbagai kaitan
yang ada di antara variabel-variabelnya.
Studi kasus sendiri, dalam implementasinya terbagi dalam beberapa jenis. Bogdan
& Biklen (1982) mengklasifikasikan tipe-tipe studi kasus ke dalam
enam tipologi. Keenam tipologi ini merupakan studi kasus tunggal (single case studies), yakni studi kasus kesejarahan sebuah organisasi, studi kasus observasi, studi kasus sejarah kehidupan (life history), studi kasus komunitas sosial atau kemasyarakatan, studi kasus analisis situasional, dan studi kasus mikroemografi.
Di antara enam jenis studi kasus model Bogdan & Biklen di atas, dalam
penelitian ini peneliti memilih perpaduan jenis penelitian studi kasus
kesejarahan mengenai organisasi dan studi kasus observasi. Studi kasus
kesejarahan mengenai organisasi adalah model penelitian studi kasus yang
dipusatkan pada sejarah perkembangan suatu organisasi dan dinamika yang
dialami oleh organisasi tersebut (Erna Febru, 2008). Hal yang dituntut
dalam studi kasus model ini adalah pemusatan perhatian mengenai
perjalanan dan perkembangan sejarah organisasi sosial tertentu dan dalam
jangka waktu tertentu pula. Karena itu, melakukan studi macam ini
memerlukan sumber-sumber informasi dan bahan-bahan yang akurat dan
terpercaya, juga membutuhkan kecermatan dalam merinci secara sistematik
perkembangan dari tahap-tahap sebuah organisasi sosial (Bogdan &
Biklen, 1982).
Sedangkan
studi kasus observasi adalah model penelitian studi kasus yang dalam
aplikasinya mengutamakan teknik observasi partisipan dalam pengumpulan
datanya dan fokus studinya pada suatu organisasi tertentu. Bagian-bagian
dari organisasi yang menjadi fokus dari model penelitian studi kasus
ini di antaranya adalah organisasi, kumpulan para pengurus atau anggota,
dan aktivitas yang dilaksanakan (Erna Febru, 2008). Dengan kata lain,
menurut Bogdan dan Biklen (1982), model penelitian studi kasus
observasional ini lebih
menekankan kepada kemampuan seorang peneliti untuk menggunakan teknik
observasi dalam kegiatan penelitian; di mana dengan teknik observasi ini
diharapkan dapat dijaring keterangan-keterangan empiris yang detail dan
aktual dari unit analisis atau unit pemikiran (thinking unit) penelitian, apakah itu menyangkut kehidupan individu maupun unit-unit sosial tertentu dalam masyarakat.
Selanjutnya,
dengan mengikut kepada ciri-ciri yang dikemukakan oleh Erna Febru
(2008) tentang studi kasus yang baik, maka peneliti beranggapan bahwa
penelitian terhadap sejarah perkembangan dakwah dan amal usaha
organisasi Al-Irsyad di Kalimantan Selatan memenuhi indikator tersebut,
yakni:
a.
Studi kasus yang baik, seperti model studi kasus kesejarahan organisasi
hendaknya menyangkut sesuatu yang luar biasa, yang berkaitan dengan
kepentingan umum atau bahkan dengan kepentingan nasional;
b. Batas-batasnya
dapat ditentukan dengan jelas, kelengkapan ini juga ditunjukkan oleh
kedalaman dan keluasan data yang digali peneliti, dan permasalahan yang
hendak diungkap mampu dijawab oleh penelitinya dengan baik dan tepat
meskipun dihadang oleh berbagai keterbatasan;
c. Mampu
mengantisipasi berbagai alternatif jawaban dan sudut pandang yang
berbeda-beda, karena pembahasan tentang sejarah perkembangan organisasi
terkadang memiliki informasi yang bervariasi, penjelasan, dan sisi
pandangan yang berbeda dari sumbernya;
d. Studi
kasus kesejarahan organisasi hendaknya mampu menunjukkan bukti-bukti
dan deskripsi yang lengkap terhadap keberadaan dari organisasi yang
diteliti, baik yang mendukung pandangan peneliti maupun data-data yang
didasarkan pada prinsip selektivitas.
Adapun
pndekatan sejarah, sebagaimana dikatakan di atas akan diaplikasikan
manakala data-data yang digali secara khusus berhubungan dengan
sejarah pembentukan organisasi Al-Irsyad, sejarah kepengurusan dan
kepemimpinan, dan sejarah perkembangan gerakan dakwah Al-Irsyad di
Kalimantan Selatan.
Pendekatan sejarah ini diaplikasikan mengikut kepada model yang disarankan oleh Louis Gatschalk (1985) dalam bukunya berjudul Understanding History. Penelitian
dengan menggunakan pendekatan sejarah pada prinsipnya merupakan suatu
proses untuk menguji dan menganalisis secara kritis sumber, rekaman dan
peninggalan masa lalu dengan merekonstruksi berdasarkan data yang
diperoleh dengan menempuh proses historiografi (Louis Gottschalk, 1985: 32). Dengan kata lain, sebagaimana dijelaskan Aminuddin Kasdi (2000: 10), pendekatan
sejarah merupakan alat, piranti atau prosedur yang digunakan sejarawan
dalam tugas meneliti sejarah. Karena itu, pendekatan sejarah setidaknya
mempunyai empat unsur utama dalam penerapannya, yaitu heuristik,
verifikasi, interpretasi dan historiografi (Louis Gottschalk, 1985:32).
a. Heuristik
Heuristik
merupakan proses mencari dan menemukan sumber-sumber yang diperlukan.
Dalam usaha mengumpulkan sumber penelitian, peneliti lakukan melalui
studi literatur dan penelusuran arsip atau dokumentasi yang menjelaskan
dan memuat data serta informasi tentang tentang permasalahan yang
dikaji, yakni tentang organisasi Al-Irsyad, terutama yang ada di
Kalimantan Selatan. Penelusuran arsip dan dokumentasi dilakukan di
sekretariat Pimpinan Wilayah dan Cabang Al-Irsyad dan kepada orang-orang
yang dianggap menyimpan arsip keorganisasi Al-Irsyad. Kegiatan ini
dilakukan untuk mencari data secara selektif dan relevan dengan
permasalahan yang ada.
b. Verifikasi (Kritik Sumber)
Setelah
melakukan pengumpulan data, tahap berikutnya adalah verikasi atau lazim
disebut dengan kritik untuk memperoleh keabsahan sumber, yang dalam
konteks ini menurut Dudung Abdurrahman (1999:58) diuji keabsahan dan
keaslian sumber (otentik) melalui kritik ekstern serta uji kredibilitas
sumber dengan kritik intern.
Dalam
penelitian ini nantinya, penekanan juga akan lebih banyak diberikan
pada studi literatur yang mengutamakan isi sumber berdasarkan
kredibilitasnya. Antara sumber primer dan sekunder diadakan perbandingan
sehingga dapat saling melengkapi.
c. Interpretasi
Interpretasi
sering disebut juga dengan istilah penafsiran sejarah atau analisis
sejarah. Analisis sejarah itu sendiri bertujuan melakukan sintesis atas
sejumlah fakta yang diperoleh dari sumber-sumber sejarah. Interpretasi
dapat dilakukan dengan membandingkan data-data yang diperoleh guna
menyingkap peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam waktu yang sama.
Setelah data terkumpul lalu data disimpulkan untuk kemudian dibuat
penafsiran keterkaitan antara sumber yang diperoleh.
d. Historiografi
Historiografi
merupakan kegiatan akhir dalam proses pengumpulan data sejarah yang
sedang diteliti. Pada langkah ini fakta- fakta disusun secara sistematis
dalam suatu sintesa yang komparatif, kausalitas, dan kronologis
sehingga tersusun sebuah hasil penelitian tentang sejarah (dalam hal
sejarah organisasi Islam Al-Irsyad).
Di
samping menggunakan empat tahap metode tersebut di atas, dalam
pelaksanaannya peneliti juga menggunakan pendekatan interdisipliner,
misalnya sosiologi yang digunakan untuk memahami karakteristik kelompok
atau masyarakat Arab keturunan.
2. Lokasi
Penelitian
ini dilaksanakan di Kalimantan Selatan sebagai salah satu daerah
sebaran tempat berdiri dan beraktivitasnya Al-Irsyad Al-Islamiyyah yang
berada di bawah koordinasi Pimpinan Wilayah (PW).
Dipilihnya PW Al-Irsyad Al-Islamiyyah Kalimantan Selatan sebagai setting
penelitian didasari bahwa dinamika perkembangan, aktivitas, maupun
keberadaan dari organisasi selama tidak banyak terekspos dan belum
diteliti secara detail. Padahal eksistensinya sangat signifikan untuk
diketahui mengingat peran sejarah yang dimainkannya dalam ikut
menggerakan usaha dakwah, pendidikan, sosial dan lainnya yang telah
menjadi bidang garapan utama organisasi.
Di
samping itu, trend isu yang kurang baik sebagaimana dikemukakan pada
bagian pendahuluan, kecenderungan atau sifat organisasi yang dinilai
oleh sebagian masyarakat ekslusif sebagai organisasi orang-orang Arab,
dan permasalahan dualisme kepemimpinan di tingkat pusat yang terjadi
dalam organisasi ini dianggap telah memberikan dampak yang terhadap
eksistensi dan kiprah organisasi ini di daerah, termasuk di Kalimantan
Selatan. Oleh itu, perlu untuk dikaji agar bisa dipahami masyarakat luas
guna mengantisipasi ekses-ekses yang tidak diinginkan akibat
kesalahpamanan maupun karena tertutup dan terbatasnya informasi tentang
organisasi ini.
3. Populasi dan Sampel
Sugiyono
(2001) mengartikan populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri
atas objek atau subjek yang mempunyai kualitas dan karakteristik
tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian
ditarik kesimpulannya. Sedangkan sampel adalah bagian dari jumlah dan
karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut. Dengan kata lain,
menurut Djarwanto dan Subagyo (1993), sampel adalah bagian dari populasi
yang karakteristiknya hendak diselidiki dan dianggap bisa mewakili
keseluruhan populasi (representative).
Berdasarkan konsep di atas, maka populasi
dalam penelitian ini adalah seluruh pengurus dan anggota organisasi
Al-Irsyad yang tergabung dalam kepengurusan Pimpinan Wilayah (PW)
Al-Irsyad Al-Islamiyyah Kalimantan Selatan. Kemudian, mengingat
besarnya jumlah populasi yang ada dan agar data yang dijaring lebih
valid dan akurat, maka diperlukan responden sebagai sampel dari populasi
dan informan yang benar-benar mengetahui permasalah penelitian. Guna
memperoleh informan dan responden yang sesuai, dalam rangka penjaringan
data tersebut, maka peneliti menggunakan teknik snowball sampling (bola Salju). Teknik
ini digunakan untuk menetapkan informan yang dianggap paling mengetahui
masalah yang dikaji dan kemudian mampu memberikan informasi atau
merekomendasikan kepada peneliti tentang siapa-siapa yang bisa bertindak
sebagai informan lainnya. Dalam aplikasinya, data-data penting yang relevan dengan permasalahan penelitian yang bersumber dari sampel (responden) akan terus digali, sehingga mencapai titik jenuh. Dengan kata lain, bahwa dengan teknik ini diharapkan informasi yang ada kaitannya dengan fokus penelitian akan teruangkap dan didapat secara lebih lengkap dan detil.
Selanjutnya, teknik snowball sampling ini diimplementasikan melalui cara tunnel atau cerobong
(Bogdan dan Biklen, 1982), yakni dengan cara mengumpulkan data dari
sampel dengan cara seluas-luasnya untuk kemudian dipersempit dan
dipertajam berdasarkan kepada fokus penelitian atau pokok permasalahan.
Suharsimi Arikunto (2006:17) juga menjelaskan hal yang sama berkenaan dengan pelaksanaan teknik snowball sampling,
yaitu peneliti memilih responden secara berantai. Jika pengumpulan data
dari responden pertama sudah selesai, maka peneliti meminta agar
responden tersebut memberikan informasi atau rekomendasi untuk responden
yang kedua, lalu yang kedua juga memberikan rekomendasi untuk responden
ketiga, dan seterusnya. Proses bola salju ini berlangsung terus sampai peneliti memperoleh data yang cukup dan sesuai dengan kebutuhan.
4. Objek
Objek
penelitian merupakan variabel atau apa yang menjadi titik perhatian
suatu penelitian (Suharsimi Arikunto, 2006:118). Karenanya, yang menjadi
objek dalam penelitian ini berkenaan dengan sejarah perkembangan dakwah
Al-Irsyad Al-Islamiyyah di Kalimantan Selatan, khususnya adalah tentang
sejarah pembentukan dan perkembangan organisasi dakwah Al-Irysad
Al-Islamiyah Kalimantan Selatan; amal usaha dakwah yang telah dilakukan
oleh Al-Irsyad Al-Islamiyyah Kalimantan Selatan; dan berbagai hambatan
yang dirasakan oleh Al-Irsyad Al-Islamiyyah dalam mengembangkan
manajemen keorganisasian serta dakwah Islam di Kalimantan Selatan.
5. Data dan Sumber Data
Jenis
data yang akan digali dalam penelitian ini adalah data kualitatif.
Menurut Miles dan Huberman (1992) data kualitatif adalah data-data yang
berwujud kata-kata dan bukan dalam bentuk deretan angk-angka. Data
kualitatif dianggap sangat menarik, karena data tersebut merupakan
sumber dari pemahaman dan deskripsi yang sangat luas, mempunyai landasan
yang kokoh serta memuat penjelasan tentang proses-proses yang terjadi
dalam lingkup penelitian. Karenanya dengan data kualitatif diharapkan
peneliti dapat mengikuti dan memahami alur peristiwa secara kronologis,
menilai sebab-sebab dalam pikiran orang-orang setempat dan memperoleh
penjelasan yang banyak dan bermanfaat.
Data
yang digali dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data
sekunder. Data primer adalah data-data yang secara langsung berhubungan
dan menjadi jawaban bagi permasalahan penelitian serta didapat langsung
dari objek terteliti (Bagong, dkk, 2005:55), yakni data-data tentang sejarah
pembentukan dan perkembangan organisasi dakwah Al-Irysad Al-Islamiyah
Kalimantan Selatan; amal usaha dakwah yang telah dilakukan oleh
Al-Irsyad Al-Islamiyyah Kalimantan Selatan; dan berbagai hambatan yang
dirasakan oleh Al-Irsyad Al-Islamiyyah dalam mengembangkan manajemen
keorganisasian serta dakwah Islam di Kalimantan Selatan. Sedangkan data sekunder adalah data penunjang yang digunakan untuk melengkapi data primer, yakni data-data
yang diperoleh dari lembaga atau institusi tertentu, seperti Biro Pusat
Statistik, Kantor Kementerian Agama, dan lain-lain, misalnya berkenaan
dengan gambaran umum lokasi penelitan; jumlah komunitas atau keturunan
orang Arab, karakteristik sosial orang-orang Arab, dan lain-lain.
Adapun
sumber data dalam penelitian ini adalah subjek darimana data dapat
diperoleh. Dengan kata lain sumber data dalam penelitian ini
diklasifikasikan menjadi tiga bagian, yakni sumber data berupa orang (person), sumber data berupa tempat atau benda (place)
dan sumber data berupa simbol atau paper yang cocok untuk penggunaan
metode dokumentasi (Suharsimi Arikunto, 2006:129). Karena itu dapat
dikatakan bahwa yang menjadi sumber data dalam penelitian ini yang
berupa person terdiri dari pengurus dan mantan pengurus organisasi, anggota, dan simpatisan organisasi; sumber data yang berupa place
adalah tempat atau sekretariat yang menjadi pusat kegiatan organisasi
Al-Irsyad; dan yang berupa simbol adalah dokumentasi-dokumentasi
(kliping surat kabar, buku dokumentasi kegiatan, foto, film, laporan
kegiatan) yang berkenaan dengan sejarah perkembangan, amal usaha dakwah
dan kegiatan-kegiatan lainnya yang dilaksanakan sebagai wujud dari
visi-misi, tujuan, maupun program kerja organisasi yang telah
dirumuskan.
6. Teknik Pengumpulan Data
Pada
prinsipnya, data penelitian kualitatif tidak hanya berupa kondisi
perilaku masyarakat yang diteliti, tetapi juga kondisi dan situasi
lingkungan di sekitarnya. Untuk mencapai hal tersebut jenis data yang
digunakan bervariasi, di antaranya adalah pengalaman personal,
introspektif, sejarah kehidupan, hasil wawancara, observasi lapangan,
perjalanan dan perkembangan, serta hasil pengamantan visual, yang
menjelaskan momen-momen dan nilai-nilai rutinitas dan problematik
kehidupan setiap individu yang terlibat di dalam penelitian.
Untuk
memenuhi kebutuhan data yang beranekaragam tersebut, penelitian
kualitatif menggunakan berbagai metode atau pengumpulan data. Denzin dan
Lincoln (2005) menjelaskan bahwa metode pengumpulan data yang
dipergunakan di antaranya adalah catatan lapangan, wawancara,
percakapan, foto, rekaman dan berbagai artefak, dokumen atau arsip yang
terdapat di lapangan. Antara teknik yang satu dengan teknik yang lainnya
tidak saling terpisah, tetapi saling berkaitan dan saling mendukung
untuk menghasilkan data yang sesuai dengan kebutuhan. Data yang
diperoleh dari suatu teknik disalingsilangkan (tringulasi) dengan data yang diperoleh melalui metode yang lain, sehingga menghasilkan data yang dapat dipercaya (valid) dan sesuai dengan kenyataan (reliabel). Secara khusus, Lincoln dan Guba (1985), menyebut reabilitas di dalam penelitian kualitatif dipenuhi melalui kredibilitas (credibility) partisipan, konsistensi (consistent) dan transferabilitas (transferability) temuan. Sedangkan validitas dapat dicapai melalui kualitas (quality) data, ketepatan (rigor) dan kejujuran (trustworthiness) pengungkapannya.
Untuk
menjalankan tuntutan teknik pengumpulan data yang demikian, penelitian
kualitatif menempatkan manusia sebagai figur terpenting dalam
penelitian; artinya peneliti memposisikan diri sebagai instrumen utama
penelitian. Karena, peneliti sebagai manusia berhubungan langsung dan
tidak dapat dipisahkan dalam proses pengumpulan, analisis dan
interpretasi data. Oleh karena itu, realitas yang berhasil digali dan
ditemukan melalui penelitian kualitatif sering dianggap bersifat
subjektif, karena sangat tergantung dari kapasitas dan kredibilitas
pihak-pihak yang terkait, baik peneliti maupun partisipan yang terlibat.
Bogdan dan Biklen (1982) menyatakan pula bahwa pengumpulan
data dalam penelitian kualitatif dilakukan dengan menggunakan tiga
teknik utama, penerapan ketiga teknik ini dilakukan secara fleksibel dan
simultan sesuai dengan jenis data yang hendak dicari, yaitu wawancara
mendalam, observasi, dan studi dokumentasi yang ditambah dengan studi
kepustakaan atau referensi yang relevan dengan permasalahan yang dikaji.
Wawancara
dilakukan secara mendalam terhadap orang-orang yang secara
organisatoris memiliki hubungan, yakni kepada para pengurus, mantan
pengurus maupun anggota organisasi Al-Irsyad serta dengan berbagai
kalangan yang dianggap memiliki informasi penting tentang Al-Irsyad.
Wawancara dilakukan dengan cara terbuka, sehingga data-data penting
dapat dieksplorasi secara luas dan agar subjek terteliti dapat mengemukakan pendapat, respon, atau tanggapan mereka seluas dan sebebas mungkin.
Observasi
atau pengamatan dilakukan secara langsung di lokasi penelitian, yakni
tempat-tempat yang menjadi pusat kegiatan organisasi Al-Irsyad
Kalimantan Selatan, sekretariat kepengurusan, maupun daerah-daerah yang
menjadi kantong keberadaan para anggota atau simpatisan dari organisasi.
Dengan demikian, teknik observasi digunakan terhadap subjek terteliti
dalam konteks aktivitasnya selama kegiatan keorganisasian, misalnya
dalam pertemuan, bergaul, berinteraksi dan sebagainya. Observasi yang
dilakukan tidak dikondisikan, akan tetapi berlatar alami. Kemudian
keterlibatan peneliti sendiri dalam observasi tersebut bisa bersifat
aktif dan bisa pula bersifat pasif, sesuai dengan situasi dan kondisi
serta data yang akan digali.
Studi
dokumentasi dilakukan untuk mendapatkan data-data yang berhubungan
dengan sejarah, perkembangan keorganisasian, kepengurusan, kepemimpinan
Al-Irsyad, maupun aktivitas dan gerakan dakwah, sosial, dan pendidikan
yang telah dilakukan. Dengan kata lian, studi dokumentasi digunakan
untuk mencari dan mengumpulkan data penelitian yang berwujud secara
tertulis, berupa catatan, gambar, simbol penting dan sebagainya yang
berkenaan dengan permasalahan yang diteliti.
Studi
kepustakaan dilakukan dengan menelaah sejumlah bahan pustaka yang
relevan untuk mendapatkan informasi dan deskripsi penting berkenaan
dengan sejarah pembentukan organisasi, visi-misi, tujuan, prinsip
gerakan, bidang garapan dan lain-lain, hingga kemudian organisasi ini
masuk dan berkembang di Kalimantan Selatan.
7. Analisis Data
Menurut
Patton (1980) analisis data adalah proses mengatur urutan data,
mengorganisasikanya ke dalam suatu pola, kategori, dan satuan uraian
dasar. Sedangkan Taylor (1975:79) mendefinisikan analisis data sebagai
proses merinci usaha secara formal untuk menemukan tema dan merumuskan
hipotesis (ide) seperti yang disarankan dan sebagai usaha untuk
memberikan bantuan dan tema pada hipotesis. Jika dikaji, pada dasarnya
definisi Patton lebih menitikberatkan pengorganisasian data sedangkan
definisi Taylor lebih menekankan maksud dan tujuan analisis data.
Menurut
Mohammad Hasyim (1983:41), analisis data adalah serangkaian kegiatan
mengolah data yang telah dikumpulkan dari lapangan menjadi seperangkat
hasil penelitian, baik dalam bentuk penemuan-penemuan baru maupun dalam
bentuk pembuktian kebenaran anggapan.
Berdasarkan
definisi di atas, maka dapat disintesiskan bahwa analisis data
merupakan proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola,
kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat
dirumuskan berdasarkan perolehan data. Hal ini dikarenakan data yang
terkumpul banyak sekali dan terdiri dari catatan lapangan dan komentar
peneliti, gambar, foto, dokumen, berupa laporan, biografi, artikel, dan
sebagainya. Sehingga perlu dilakukan kegiatan untuk mengatur,
mengurutkan, mengelompokkan, memberikan kode, dan mengkategorikannya.
Analisis
data itu sendiri dilakukan dalam suatu proses. Proses berarti
pelaksanaannya sudah mulai dilakukan sejak pengumpulan data dilakukan
dan dikerjakjan secara intensif, yaitu sudah meninggalkan lapangan.
Pekerjaan menganalisis data memerlukan usaha pemusatan perhatian dan
pengerahan tenaga, pikiran peneliti. Selain menganalisis data. Peneliti
juga perlu untuk mendalami referensi, buku rujukan, atau kepustakaan
guna mengkonfirmasikan teori atau untuk menjastifikasikan adanya teori
baru yang barangkali ditemukan.
Menurut
Owen (1987) dalam penelitian kualitatif, analisis data dilakukan
bersamaan dengan pengumpulan data. Lebih jauh dijelaskan pula bahwa
analisis data merupakan proses penelaahan, pengurutan dan pengelompokan
data dengan tujuan untuk menyusun hipotesis kerja dan mengangkatnya
menjadi teori sebagai hasil penelitian (Miles dan Huberman, 1986).
Sedangkan menurut Bogdan dan Biklen (1982) analisis data merupakan
proses penelaahan dan penyusunan secara sistematik semua transkrip
wawancara, catatan lapangan dan material-material lainnya yang telah
ditulis oleh peneliti selama proses pengumpulan data.
Pada
dasarnya data kualitatif tidak dianalisis dengan angka-angka, melainkan
dalam bentuk kata-kata atau paragraf-paragraf yang dinyatakan dalam
bentuk narasi yang bersifat deskriptif. Karena itu teknik analisis yang
digunakan adalah teknik deskriptif, yang dalam penerapannya menurut
Miles dan Huberman (1986: 16) harus dilakukan secara berlanjut,
berulang, dan terus-menerus melalui tiga alur kegiatan yang dilakukan
secara bersama-sama, yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan
kesimpulan atau verifikasi.
Reduksi
data adalah proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan,
pengabstrakkan dan transformasi data mentah atau kasar yang muncul dari
catatan-catatan tertulis di lapangan, karena itu reduksi data dilakukan
secara berkesinambungan mulai dari awal kegiatan hingga akhir
pengumpulan data, baik berupa pembuatan singkatan, pengkodean,
pengkategoriaan, pengurutan, pengelompokkan, pemusatan tema, penentuan
batas-batas permasalahan dan pembuatan memo (catatan).
Penyajian
data adalah proses penyusunan informasi yang komplek ke dalam satu
bentuk yang sistematis, sehingga menjadi lebih sederhana dan selektif,
serta dapat dipahami maknanya, hal ini dimaksudkan untuk menemukan
pola-pola yang bermakna serta memberikan kemungkinan adanya penarikan
kesimpulan dan pengambilan tindakan.
Penarikan
kesimpulan dapat dilakukan berdasarkan pernyataan-pernyataan yang telah
dibuat untuk menemukan pola, topik atau tema sesuai dengan masalah
penelitian, karena itu peneliti akan membuat kesimpulan-kesimpulan yang
bersifat longgar dan terbuka, dimana pada awalnya mungkin terlihat belum
jelas, namun dari sana akan meningkat menjadi lebih rinci dan mengakar
secara kokoh.
Berdasarkan
uraian di atas maka pada dasarnya penganalisisan data dalam penelitian
ini dilakukan dalam dua tahap, yaitu selama proses pengumpulan data dan
setelah data terkumpul.
Hasil
analisis data tahap pertama dijadikan bahan pertimbangan untuk meneliti
kembali masalah penelitian, rumusan masalah, dan tujuan penelitian yang
telah dibuat sebelumnya. Pada tahap kedua hasil analisis data tahap
pertama dilanjutkan dengan pemberian sandi, penomoran, dan penyortiran
(Bogdan dan Biklen, 1982).
8. Pengecekan Keabsahan Data
Kriteria-kriteria
yang digunakan sebagai dasar untuk pengecekan atau pemeriksaan
keabsahan data dalam penelitian ini meliputi empat hal, yaitu
kredibilitas, transferabilitas, dependabilitas dan komfirmabilitas
(Moloeng, 1990:175).
a. Kredibilitas
Kredibilitas
data dilakukan untuk membuktikan bahwa apa yang telah peneliti amati
adalah sesuai dengan dengan apa yang sesungguhnya dan sebenarnya terjadi
di lapangan. Untuk tujuan ini akan dilakukan triangulasi serta
pengecekan anggota dan diskusi sesama anggota Tim Peneliti.
Triangulasi
dimaksud meliputi tentang sumber data yang dilakukan dengan cara
menanyakan kebenaran data atau informasi yang diperoleh dari seorang
informan kepada informan yang lainnya. Kemudian triangulasi tentang
teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara membandingkan data
atau informasi yang didapat melalui teknik tertentu dengan data atau
informasi yang telah didapat melalui teknik yang lain.
Pengecekan
anggota dilakukan dengan cara menunjukkan data atau informasi, termasuk
hasil interpretasi peneliti yang telah ditulis dengan baik dalam format
catatan lapangan atau transkrip wawancara kepada informan untuk
dikomentari atau ditambah informasi lainnya yang dianggap perlu.
Komentar, reaksi atau tambahan data informasi tersebut akan digunakan
untuk memperbaiki catatan lapangan atau transkrip wawancara.
b. Transferabilitas
Melalui teknik ini peneliti berusaha semaksimal mungkin untuk melaporkan
hasil penelitian secermat dan sedetil mungkin berbagai data dan
informasi yang telah ditemukan di lapangan, sehingga fokus penelitian
akan tergambar secara jelas dan baik.
c. Dependabilitas
Hal
ini dimaksudkan untuk menilai proses penelitian yang telah dilakukan,
apakah sudah sesuai dengan prosedur atau tidak, dan untuk mengoreksi
berbagai kesalahan yang mungkin terjadi, sehingga dapat direvisi
kembali.
d. Kompirmabilitas
Komfirmabilitas
data dimaksudkan untuk menilai data hasil penelitian yang dilakukan
apakah terkait dengan informasi serta interpretasi yang didukung oleh
materi yang tersedia pada penelusuran atau pelacakan audit atau tidak.
Hal ini dilakukan agar temuan penelitian dengan data yang terhimpun
melalui pelacakan terhadap catatan-catatan lapangan, metode pengumpulan
data dan teknik analisa data menjadi absah dan benar.
9. Tahap-Tahap Penelitian
Tahap-tahap
penelitian yang dimaksud dalam penelitian ini adalah berkenaan dengan
proses pelaksanaan penelitian. Menurut Moleong (1990:85) tahap
penelitian tersebut meliputi: tahap pra-penelitian, tahap penelitian,
dan tahap pasca-penelitian.
a. Tahap Pra-penelitian
Pra-penelitian
adalah tahap sebelum peneliti berada di lapangan. Pada tahap pra
penelitian ini akan dilakukan kegiatan-kegiatan, antara lain: mencari
permasalahan penelitian melalui bahan-bahan tertulis ataupun melalui
observasi langsung di lapangan, kegiatan-kegiatan ilmiah dan non-ilmiah,
dan pengamatan atau wawancara dengan pakar, kemudian merumuskan
permasalahan yang masih bersifat tentatif dalam bentuk konsep awal,
berdiskusi dengan orang-orang tertentu yang dianggap memiliki
pengetahuan atau informasi tentang permasalahan yang masih bersifat
tentatif, menyusun sebuah konsep ide pokok penelitian, menyusun usulan
penelitian yang lengkap, dan penyiapan persyaratan pengurusan surat izin
penelitian.
b. Tahap Penelitian
Penelitian
adalah tahap yang sesungguhnya selama berada di lapangan. Pada tahap
penelitian ini akan dilakukan kegiatan-kegiatan, antara lain: menyiapkan
bahan-bahan yang diperlukan di lapangan, seperti surat izin penelitian,
perlengkapan alat tulis-menulis, dan alat perekam lainnya,
berkonsultasi dengan pihak-pihak yang berwenang dan berkepentingan
dengan latar penelitian untuk mendapatkan rekomendasi penelitian,
mengumpulkan data atau informasi yang terkait dengan fokus penelitian,
menganalisis data penelitian dan pembuatan draf awal konsep hasil
penelitian.
c. Tahap Pasca-penelitian
Pasca-penelitian
adalah tahap sesudah kembali dari lapangan. Pada tahap pasca-penelitian
ini akan dilakukan kegiatan-kegiatan, antara lain: menyusun konsep
laporan penelitian dan perampungan laporan penelitian.
Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa pentahapan dalam penelitian ini adalah
bentuk urutan atau berjenjang, yakni dimulai dari tahap pra-penelitian
ke tahap penelitian sampai ke tahap pasca-penelitian. Namun walaupun
demikian sifat dari kegiatan yang akan dilakukan pada masing-masing
tahapan tersebut tidaklah bersifat ketat, karena bisa saja kegiatan
tertentu pada suatu tahapan terjadi penambahan, pengulangan atau
pengurangan.
Referensi
A. Hasjmy, (1981), Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia, Bandung: Al-Maarif.
Al-Habib Alwi bin Thahir al-Haddad, (2001), Sejarah Masuknya Islam di Timur Jauh, Jakarta: Lentera.
Ahmad Mansur Suryanegara, (1998), Menemukan Sejarah: Wacana Pergerakan Islam di Indonesia, Bandung: Mizan.
Ahmad Sarkati, (2005), Konsep Pendidikan Menurut Surkati: Sebuah Upaya Rekonstruksi Pendidikan Islam, Jurnal Khazanah, Volume IV Nomor 04, Juli-Agustus 2005 (halaman 432-453), IAIN Antasari Banjarmasin.
Ali Mustafa Yaqub, (1997), Sejarah dan Metode Dakwah Nabi, Jakarta: Pustaka Firdaus.
Aminuddin Kasdi, (2000), Memahami Sejarah, Surabaya: Unesa Press, 2000.
Arnold, Thomas W. (1983), The Preaching of Islam, Bandung: Wijaya.
Asep Saeful Muhtadi dan Agus Ahmad Safei, (2003), Metode Penelitian Dakwah, Bandung: Pustaka Setia.
Azyumardi Azra, (1989), Perspektif Islam di Asia Tenggara, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Bagong, Suyanti, dan Sutinah, (2005), Metode Penelitian Sosial: Berbagai Alternatif Pendekatan, Jakarta: Prenada Media Kencana.
Basrowi dan Suwandi, (2008), Memahami Penelitian Kualitatif, Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Bisri Affandi, (1999), Syaikh Ahmad Syurkati 1874-1943: Pembaharu & Pemurni Islam di Indonesia, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
Bogdan, Robert C. & Biklen, Sari Knopp, (1982), Qualitative Research for Education: An Introduction to Theory and Methods, Boston: Allyn and Bacon.
Buku Panduan Musyawarah Cabang III PC. Al-Irsyad Al-Islamiyyah Kodya Banjarmasin, 1993, (Arsip Pribadi).
Creswell, John W. (1994), Research Design Quantitative And Qualitative Approach, London: Sage Publication.
Dadang Kahmad, (2000), Metode Penelitian Agama, Bandung: Pustaka Setia.
Deliar Noer, (1985), Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, Jakarta: LP3ES.
Dudung Abdurrahman, (1999), Metode Penelitian Sejarah, Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
Gottschalk, L. (1985), Understanding History, Jakarta: Universitas Indonesia Press.
Hamka, (2009), Sejarah Umat Islam, Singapura: Pustaka Dini.
Husaini Usman dan Purnomo Setiady Akbar, (2001), Metodologi Penelitian Sosial, Jakarta: PT. Bumi Asara.
Hussein Badjerei, (1996), Al-Irsyad Mengisi Sejarah Bangsa, Jakarta: Presto Prima Utama.
Lexy J. Moleong, (1990), Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
L.W.C. van den Berg, (2010), Orang Arab di Nusantara, Depok: Komunitas Bambu.
Maman, dkk. 2006, Metodologi Penelitian Agama, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Miles, M.B. & A.M. Huberman, (1994), Qualitative Data Analysis, CA: Sage Publication.
Mohammad Abu Suhud, Memahami Sejarah Dakwah dan Ruang Lingkup Kajian Sejarah Dakwah, http://www.sejarahdakwah.blogspot.com/ (Publish, 13 Februari 2011; Akses, 17 Februari 2012).
Mohammad Hasyim, (1983), Penuntun Dasar Kearah Penelitian Masyarakat, Surabaya: PT. Bina Ilmu.
Muhammad Musthafa Atha, (1982), Ad-Dawatu Tahririyatil Kubra, Surabaya: PT. Bina Ilmu.
Munir dan Wahyu Ilaihi, (2006), Manajemen Dakwah, Jakarta: Prenada Media.
Natalie Mobini Kesheh, (2007), Hadrami Awakening: Kebangkitan Hadrami di Indonesia, Jakarta: Akbar Media Eka Sarana.
Pijper, G.F. (1984), Beberapa Studi Tentang Sejarah Islam di Indonesia 1900-1950, Jakarta: Universitas Indonesia.
Saifuddin Ahmad Husin, (2005), Trade Jargon Hadrami Arabic in Martapura: Arab Identity Maintenance and Allegiance, Jurnal Khazanah, Volume IV Nomor 05, September-Oktober 2005 (halaman 469-486), IAIN Antasari Banjarmasin.
———, (2008), Interferensi
Leksikon Bahasa Melayu Terhadap Bahasa Arab: Kajian atas Surat-Surat
Orang Arab Hadrami di Nusantara Pada Abad ke-19, Jurnal Al-Jami, Volume 4 Nomor 2, Juli-Desember 2008 (halaman 89-123), STAI Al-Jami Banjarmasin.
Streenbrink, Karel S. (1989), Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke-19, Jakarta: PT. Bulan Bintang.
Suharsimi Arikunto, (2006), Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Taufik Abdullah, (1991), Sejarah Umat Islam di Indonesia, Jakarta: Majelis Ulama Indonesia.
Wahyu Ilaihi dan Harjani Hefni, (2007), Pengantar Sejarah Dakwah, Jakarta: Prenada Media.
Wardi Bachtiar, (1997), Metodologi Penelitian Ilmu Dakwah, Jakarta: Logos Wavana Ilmu.
Winarno Surakhmad, (1982), Dasar dan Teknik Research, Bandung: Tarsito.
Yin, Robert K. (1996), Studi Kasus: Desain dan Metode, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada
Zaini Muchtarom, (1996), Dasar-dasar Manajemen Dakwah, Yogyakarta: Al-Amin dan IKFA.
[1]Arsip pribadi Zulfa Jamalie, berdasarkan catatan dan syahadah (piagam) tanda keikutsertaan dalam kegiatan tersebut.
[2]Untuk
menyelesaikan masalah dualisme kepemimpinan ini, para petinggi dan
pimpinan pusat Al-Irsyad sudah merencanakan untuk mempertemukan kembali
kedua organisasi yang berbeda nama tetapi mempunyai visi dan misi yang
yang sama untuk berdamai atau ishlah melalui kegiatan Musyawarah Pimpinan Nasional dan Muktamar Organisasi bertepatan dengan
100 tahun (1 Abad) usia Al-Irsyad Al-Islamiyah pada tahun 2012 ini.
Dalam muktamar dimaksud akan dibicarakan pula masalah-masalah yang
berhubungan dengan konsolidasi organisasi, perkembangan isu-isu politik,
berbagai persoalan terkait kehidupan umat Islam, masalah terorisme,
fundamentalisme, dan kekerasan atas nama agama (Koran Republika, 2012).
[3]Dan
hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada
kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar,
merekalah orang-orang yang beruntung (QS. Ali Imran 104); Kamu
adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada
yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.
Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, namun
di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah
orang-orang yang fasik (QS. Ali Imran 110); Serulah (manusia) kepada
jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran
yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya
Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari
jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat
petunjuk (QS. al-Nahl 125).
SALAM, APA KABAR ? Alhamdulillah saya telah mengunjungi Blog Anda, intinya thema dan uraian materinya sangat bagus. Nah, tidak ada salahnya jika tulisan Anda juga dituangkan dalam Jurnal Ilmiyah, dengan beberapa alasan. SUATU HAL YANG SULIT DIPUNGKIRI DENGAN LUASNYA WILAYAH NKRI + ASEAN SANGAT MUNGKIN DATA SEJARAH TERKAIT KEBERADAAN :
BalasHapusPERAN AKTIF TOKOH/TEUNGKU/TUAN GURU/ AJEUNGAN
LEMBAGA PENDIDIKAN (Mis. PESANTREN, DAYAH, SURAU, MADRASAH)
KESULTANAN
MASJID
MAKAM
ISTANA
NASKAH/MANUSKRIP
TATARUANG KOTA
KERAJINAN (gerabah, batik, Kaligrafi, seni pentas, senjata, logam, keramik, dll)
Masing-masing tersebut di atas BELUM BANYAK TERUNGKAP. (Pilih salah satu saja)
Jurnal Ilmiyah KALIJAGA dengan izin terbit ISSN no.2302-6758, (focus Sejarah Kebudayaan & Peradaban Islam di Asia Tenggara) selalu setia menunggu Makalah dan/ atau hasil penelitian dari para PEMERHATI, PENELITI, DOSEN, GURU Pengampu materi SEJARAH KEBUDAYAAN ISLAM. Andai sudah ditulis tolong kirim via email : jurnalkalijaga@ymail.com.
Untuk membangun kebersamaan, tolong disampaikan kpd segenap teman yang lain. Jazakumullah kheir khoiral jaza’. Tks